Cari Blog Ini

Sabtu, 28 November 2020

TAFSIR AL BAQARAH 245

 

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/979-quran-surat-al-baqarah-ayat-245.html

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 245. Siapakah yang mau berbuat seperti orang yang meminjamkan hartanya, lalu dia infakkan hartanya di jalan Allah dengan niat yang baik dan hati yang tulus, supaya harta itu kembali kepadanya dengan berlipat ganda. Sedangkan Allah dapat menyempitkan rezeki, kesehatan dan lain-lain dan dapat melapangkan itu semua dengan kebijaksaan dan keadilan-Nya. Dan hanya kepada Allah lah kamu akan dikembalikan di akhirat, kemudian Dia akan memberi kalian balasan yang setimpal dengan amal perbuatan kalian.

Referensi: https://tafsirweb.com/979-quran-surat-al-baqarah-ayat-245.html

TAFSIR JALALYN

(Siapakah yang bersedia memberi pinjaman kepada Allah) yaitu dengan menafkahkan hartanya di jalan Allah (yakni pinjaman yang baik) dengan ikhlas kepada-Nya semata, (maka Allah akan menggandakan) pembayarannya; menurut satu qiraat dengan tasydid hingga berbunyi 'fayudha'ifahu' (hingga berlipat-lipat) mulai dari sepuluh sampai pada tujuh ratus lebih sebagaimana yang akan kita temui nanti (Dan Allah menyempitkan) atau menahan rezeki orang yang kehendaki-Nya sebagai ujian (dan melapangkannya) terhadap orang yang dikehendaki-Nya, juga sebagai cobaan (dan kepada-Nya kamu dikembalikan) di akhirat dengan jalan akan dibangkitkan dari matimu dan akan dibalas segala amal perbuatanmu.

TAFSIR QURAISH SHIHAB

Berjuang di jalan Allah memerlukan harta, maka korbankanlah harta kalian. Siapa yang tidak ingin mengorbankan hartanya, sementara Allah telah berjanji akan membalasnya dengan balasan berlipat ganda? Rezeki ada di tangan Allah. Dia bisa mempersempit dan memperluas rezeki seseorang yang dikehendaki sesuai dengan kemaslahatan. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan, lalu dibuat perhitungan atas pengorbanan kalian. Meskipun rezeki itu karunia Allah dan hanya Dialah yang bisa memberi atau menolak, seseorang yang berinfak disebut sebagai 'pemberi pinjaman' kepada Allah. Hal itu berarti sebuah dorongan untuk gemar berinfak dan penegasan atas balasan berlipat ganda yang telah dijanjikan di dunia dan akhirat.

TAFSIR IBNU KATSIR

Firman Allah Swt.:

{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:

"مَنْ يُقْرِضُ غَيْرَ عَدِيمٍ وَلَا ظَلُومٍ"

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat aniaya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ حُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال: لَمَّا نَزَلَتْ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ} قَالَ أَبُو الدَّحْدَاحِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُرِيدُ مِنَّا الْقَرْضَ؟ قَالَ: "نَعَمْ يَا أَبَا الدَّحْدَاحِ" قَالَ: أَرِنِي يَدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَنَاوَلَهُ يَدَهُ قَالَ: فَإِنِّي قَدْ أَقْرَضْتُ رَبِّي حَائِطِي. قَالَ: وَحَائِطٌ لَهُ فِيهِ سِتُّمِائَةِ نَخْلَةٍ وَأُمُّ الدَّحْدَاحِ فِيهِ وَعِيَالُهَا. قَالَ: فَجَاءَ أَبُو الدَّحْدَاحِ فَنَادَاهَا: يَا أُمَّ الدَّحْدَاحِ. قَالَتْ: لَبَّيْكَ قَالَ: اخْرُجِي فَقَدْ أَقْرَضْتُهُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ.

telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah: 245) Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara marfu' dengan lafaz yang semisal.
Yang dimaksud dengan firman-Nya:

{قَرْضًا حَسَنًا}

pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245)
Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.

*******************

Firman Allah Swt.:

{فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}

maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ يَشاءُ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.
Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya.
Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ: وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'."
Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadis-hadis yang munkar.
Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو خَلَّادٍ سُلَيْمَانُ بْنُ خَلَّادٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ الرُّبَاعِيُّ عَنْ زِيَادٍ الْجَصَّاصِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي فَقَدِمَ قَبْلِي حَاجًّا قَالَ: وَقَدِمْتُ بَعْدَهُ فَإِذَا أَهْلُ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: إِنِ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ" فَقُلْتُ: وَيَحْكُمُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي، فَمَا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ. قَالَ: فَتَحَمَّلْتُ أُرِيدُ أَنَّ أَلْحَقَهُ فَوَجَدْتُهُ قَدِ انْطَلَقَ حَاجًّا فَانْطَلَقْتُ إِلَى الْحَجِّ أَنْ أَلْقَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَلَقِيتُهُ لِهَذَا فَقُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا حَدِيثٌ سَمِعْتُ أَهْلَ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْكَ؟ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: زَعَمُوا أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الحسنة ألف ألف حَسَنَةٍ. قَالَ: يَا أَبَا عُثْمَانَ وَمَا تَعْجَبُ مِنْ ذَا وَاللَّهُ يَقُولُ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً} وَيَقُولُ: {فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ} [التَّوْبَةِ:38] وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Allah Swt. telah berfirman pula: padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38) Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:  Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan'."
Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَنْ دَخَلَ سُوقًا مِنَ الْأَسْوَاقِ فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفَ سَيِّئَةٍ"

Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah Swt.: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar: 10)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Istilah ka'sir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ}

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. (Al-Baqarah: 245)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.

{وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ}

dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (Al-Baqarah: 245)
Yakni di hari kiamat nanti.

TAFSIR AL BAQARAH 244

 

وَقَٰتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Referensi: https://tafsirweb.com/977-quran-surat-al-baqarah-ayat-244.html

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 244. Dan perangilah -wahai orang-orang mukmin- musuh-musuh Allah untuk membela agama-Nya dan menjunjung tinggi kalimat-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar ucapan kalian lagi Maha Mengetahui niat dan perbuatan kalian, dan akan memberi kalian balasan yang setimpal.

Referensi: https://tafsirweb.com/977-quran-surat-al-baqarah-ayat-244.html

TAFSIR JALALAYN

(Dan berperanglah kamu di jalan Allah) maksudnya untuk meninggikan agama-Nya (dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar) akan ucapanmu (lagi Maha Mengetahui) akan keadaanmu, hingga memberi balasan kepadamu.

TAFSIR QURAISH SHIHAB

Jika kalian telah mengetahui bahwa tiada guna melarikan diri dari kematian, maka berjuanglah dengan seluruh jiwa demi menegakkan agama Allah. Yakinlah bahwa Allah mendengar apa yang dikatakan orang yang enggan berperang dan orang yang rela berjuang. Dan Dia mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati. Maka kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Sebaliknya, kejahatan juga akan dibalas dengan kejahatan.

TAFSIR IBNU KATSIR

Firman Allah Swt.:

{وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}

Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 244)
Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

{الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Tolaklah kematian itu dari diri kalian, jika kalian orang-orang yang benar." (Ali Imran: 168)

{وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا * أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ}

Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)
Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid r.a., bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur.

TAFSIR AL BAQARAH 243

 

أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ خَرَجُوا۟ مِن دِيَٰرِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ ٱلْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ ٱللَّهُ مُوتُوا۟ ثُمَّ أَحْيَٰهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/975-quran-surat-al-baqarah-ayat-243.html

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 243. Apakah engkau belum tahu -wahai Nabi- kabar tentang orang-orang yang keluar dari rumah mereka, dan jumlah mereka sangat banyak, karena takut mati akibat wabah penyakit atau lainnya, yaitu satu kelompok orang dari Bani Israil? Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kalian!” Maka mereka semua mati. Kemudian Allah menghidupkan mereka kembali untuk menjelaskan kepada mereka bahwa segala sesuatu itu berada di tangan Allah -Subḥānahu-, dan mereka tidak mampu mendatangkan manfaat bagi diri mereka sendiri dan tidak kuasa menolak mudarat. Sesungguhnya Allah benar-benar Pemurah dan Pemberi karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya.

Referensi: https://tafsirweb.com/975-quran-surat-al-baqarah-ayat-243.html

TAFSIR JALALAYN

(Tidakkah kamu perhatikan) pertanyaan disertai keanehan dan dorongan untuk mendengar apa yang dibicarakan sesudah itu (orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan jumlah mereka beribu-ribu) ada yang mengatakan empat, delapan atau sepuluh ribu serta ada pula yang mengatakan berjumlah tiga puluh, empat puluh atau tujuh puluh ribu (disebabkan takut mati) sebagai maf`ul liajlih. Mereka ini ialah segolongan Bani Israel yang ditimpa oleh wabah sampar hingga lari meninggalkan negeri mereka. (Maka firman Allah kepada mereka, "Matilah kamu!") hingga mereka pun mati, (kemudian mereka dihidupkan-Nya kembali), yakni setelah delapan hari atau lebih, atas doa Nabi mereka yang bernama Hizqil. Ada beberapa lamanya mereka hidup tetapi bekas kematian tanda-tandanya terdapat pada diri mereka, tidak memakai pakaian kecuali nanti berbalik menjadi kain kafan, dan peristiwa ini menjadi buah tutur sampai kepada anak-anak mereka. (Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia) di antaranya menghidupkan mereka tadi, (tetapi kebanyakan manusia) yakni orang-orang kafir (tidak bersyukur). Adapun tujuan menyebutkan tentang orang-orang itu di sini ialah untuk merangsang semangat orang-orang beriman untuk berperang dan itulah sebabnya dihubungkan kepadanya.https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-243#tafsir-jalalayn

TAFSIR QURAISH SHIHAB

Perhatikan dan ketahuilah, hai Nabi, sebuah kisah yang unik. Yaitu kisah tentang suatu kaum yang meninggalkan kampung halaman dan melarikan diri dari medan perang karena takut mati. Mereka berjumlah ribuan orang. Lalu Allah menakdirkan untuk mereka kematian dan kekalahan melawan musuh. Sampai akhirnya, ketika jumlah yang tersisa itu berjuang dengan semangat patriotisme, Allah menghidupkan mereka kembali. Sesungguhnya hidup terhormat setelah mendapatkan kehinaan merupakan karunia Allah yang patut disyukuri, akan tetapi kebanyakan orang tidak mensyukurinya.

TAFSIR IBNU KATSIR

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka adalah delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah sembilan ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jumlah mereka adalah empat puluh ribu orang.
Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan, mereka terdiri atas tiga puluh ribu orang lebih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk sebuah kota yang dikenal dengan nama jawurdan. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa mereka dari arah Wasit.
Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka adalah penduduk negeri Azri'at Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari Ata, hal ini hanyalah semata-mata misal (perumpamaan) saja.
Ali ibnu Asim mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit.
Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib An-Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan deagan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243) Ibnu Abbas mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; mereka keluar meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri mereka. Mereka berkata, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada kematian padanya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah berfirman kepada mereka: Matilah kalian! (Al-Baqarah: 243) Maka mereka semuanya mati. Kemudian lewatlah kepada mereka seorang nabi, lalu nabi itu berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali, maka Allah menghidupkan mereka. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243), hingga akhir ayat.
Bukan hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di zaman salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di kemah-kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah wabah penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya mereka keluar menghindari maut ke daerah-daerah pedalaman.
Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan jumlah mereka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut. Maka Allah mengirimkan dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lembah, sedangkan yang lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu memekik sekali pekik di antara mereka, akhirnya matilah mereka semuanya seperti halnya seseorang mati. Kemudian mereka dikumpulkan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka dibangun tembok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa dan tercabik-cabik serta berantakan.
Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah kepada mereka seorang nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan sebutan Hizqil. Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali di hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar mengucapkan, "Hai tulang belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka tergabunglah tulang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk mengucapkan, "Hai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk memakai daging, urat, dan kulitmu!" Maka terjadilah hal tersebut, sedangkan nabi menyaksikannya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada nabi untuk mengatakan.”Hai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu agar setiap roh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!" Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah telah menghidupkan mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, sedangkan mereka mengucapkan kalimat berikut: Mahasuci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran dan bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan dibangkitkan hidup kembali. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ}

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia. (Al-Baqarah: 243)
Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas yang diperlihatkan kepada mereka, hujah-hujah yang kuat, dan dalil-dalil yang akurat.

{وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ}

Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur. (Al-Baqarah: 243)
Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas limpahan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan agama dan keduniawian mereka.
Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, dan tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia. Karena sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari wabah penyakit mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka panjang. Akan tetapi, pada akhirnya nasib yang menimpa mereka adalah kebalikan dari apa yang mereka dambakan, dan datanglah maut dengan ccpat sekaligus membinasakan mereka semuanya.
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى أَخْبَرَنَا مَالِكٌ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ كِلَاهُمَا عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زيد [ابن أَسْلَمَ] بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عباس: أن عمر بن الْخَطَّابِ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغٍ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ: أَبُو عُبَيْدَةُ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَجَاءَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا لِبَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي مِنْ هَذَا عِلْمًا، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا كَانَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ" فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ.

telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Malik dan Abdur Razzaq, telah meneeritakan kepada kami Ma'mar; keduanya meriwayatkan hadis berikut dari Az-Zuhri, dari Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berangkat menuju negeri Syam. Ketika ia sampai di Sarg, para pemimpin pasukan yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan teman-temannya datang menjumpainya. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menuturkan hadis mengenai hal ini. Abdur Rahman ibnu Auf —yang tadinya tidak ada di tempat karena mempunyai suatu keperluan— datang, lalu ia berkata memberikan kesaksiannya, bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengetahuan tentang masalah ini. Ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apabila wabah berada di suatu tempat, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melanda suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Akhirnya Khalifah Umar mengucapkan hamdalah (memuji kepada Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz sama, sebagiannya melalui jalur yang lain.
Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ وَيَزِيدُ العمِّي قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ أَخْبَرَ عُمَرَ، وَهُوَ فِي الشَّامِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ هَذَا السَّقَمَ عُذِّبَ بِهِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ" قَالَ: فَرَجَعَ عُمَرُ مِنَ الشَّامِ.

telah meneeritakan kepada kami Hajjaj dan Yazid Al-Ama; keduanya mengatakan, telah meneeritakan kepada kami Ibnu Abu Zu'aib, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah meneeritakan kepada Khalifah Umar hadis berikut dari Nabi Saw. ketika Umar berada di negeri Syam, yaitu: Sesungguhnya wabah ini pernah menimpa umat-umat sebelum kalian sebagai azab. Karena itu, apabila kalian mendengar wabah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena menghindarinya. Maka Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Malik, dari Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal.http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-244-245.html


TAFSIR AL BAQARAH 242

 

كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/973-quran-surat-al-baqarah-ayat-242.html


Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 242. Seperti penjelasan tersebut di atas, Allah menjelaskan kepadamu -wahai orang-orang mukmin- ayat-ayat-Nya yang berisi batas-batas dan hukum-hukum-Nya, agar kalian memahami dan mengamalkannya, sehingga kalian akan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Referensi: https://tafsirweb.com/973-quran-surat-al-baqarah-ayat-242.html

TAFSIR JALALAYN

(Demikianlah), artinya seperti telah disebutkan di atas (Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti) atau memahaminya.

TAFSIR QURAISH SHIHAB

Dengan keterangan semacam ini dan ketentuan hukum yang mewujudkan kemaslahatan, Allah menjelaskan hukum, nikmat dan tanda kekuasaan-Nya, agar kalian merenunginya dan melakukan sesuatu yang baik.

TAFSIR IBNU KATSIR

Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ}
Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)
Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya.
{لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}
supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242)
Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya.

AL BAQARAH 241


وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

Referensi: https://tafsirweb.com/971-quran-surat-al-baqarah-ayat-241.html

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 241. Wanita-wanita yang ditalak berhak mendapatkan pemberian berupa pakaian, harta (uang) dan lain-lain secara wajar sesuai kondisi suami, baik sedikit ataupun banyak untuk mengobati perasaannya yang hancur karena perceraian. Ketentuan hukum ini merupakan keharusan bagi orang yang bertakwa kepada Allah -Ta'ālā- dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Referensi: https://tafsirweb.com/971-quran-surat-al-baqarah-ayat-241.html

TAFSIR JALALAYN
(Wanita-wanita yang diceraikan hendaklah mendapat mutah), maksudnya diberi mutah (secara patut), artinya menurut kemampuan suami (sebagai suatu kewajiban), 'haqqan' dengan baris di atas sebagai maf`ul mutlak bagi fi`ilnya yang dapat diperkirakan (bagi orang-orang yang takwa). Hal ini diulang kembali oleh Allah agar mencapai pula wanita-wanita yang telah dicampuri, karena ayat yang lalu adalah ayat mengenai yang belum dicampuri.

TAFSIR QURAIH SHIHAB
Wanita-wanita yang dijatuhi talak suaminya setelah digauli, berhak memperoleh harta sesuai keinginan mereka, sebagai penghibur diri. Harta itu diberikan dengan cara yang terbaik dengan melihat kondisi finansial suami. Sebab yang demikian itu merupakan konsekuensi ketakwaan dan keimanan.

TAFSIR IBNU KATSIR
Firman Allah Swt:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:
{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ}
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236)
Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.

Jumat, 13 November 2020

TAFSIR AL BAQARAH 234


وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ

Menurut: Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

234. Dan orang-orang mati yang meninggalkan istri-istri yang tidak sedang hamil, maka para istri itu wajib menunggu (masa idah) selama 4 bulan 10 hari.

Menurut TAFSIR JALALAIN

(Orang-orang yang wafat) atau meninggal dunia (di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka mereka menangguhkan), artinya hendaklah para istri itu menahan (diri mereka) untuk kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh), maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai yang hamil, maka idah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu, menurut hadis.

Menurut tafsir quraish shihab
Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil, maka harus menunggu masa idah selama empat bulan sepuluh hari tanpa kawin, untuk melihat kondisi rahim dan pernyataan bela sungkawa atas meninggalnya sang suami. 

Menurut tafsir ibnu katsir

Hal ini merupakan perintah dari Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka harus melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mengenai pula pada istri-istri yang telah digauli oleh suaminya, juga istri-istri yang belum sempat digauli suaminya. Demikianlah menurut kesepakatan para ulama. Dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita yang masih belum digauli ialah makna umum yang terkandung di dalam ayat ini. Hadis berikut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, yaitu: Bahwa Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya dan belum pula memastikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka (yang bertanya) itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali menanyakan masalah ini. Pada akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, "Aku akan memutuskan masalah ini dengan rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari Allah; dan jika keliru, maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya dengan penuh —menurut riwayat yang lain disebutkan mendapat mahar misilnya— tanpa ada pengurangan dan penggelapan, dan diwajibkan atas diri si wanita melakukan idahnya, serta ia dapat mewaris (dari peninggalan suaminya)." Lalu berdirilah Ma'qal ibnu Yasar Al-Asyja'i dan mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq." Mendengar hal itu hati Abdullah ibnu Mas'ud sangat gembira.
Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti berikut: Maka berdirilah orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mereka mengatakan, "Kami menyaksikan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq."
Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan mengandung. Maka sesungguhnya idah yang harus dilakukannya ialah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun sesudah kematian suaminya selang waktu yang sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan demikian karena mengingat keumuman makna firman-Nya yang mengatakan:

{وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq: 4)
Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat, "Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa idahnya selama masa yang paling panjang di antara kedua masa tersebut, yaitu antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari." Pendapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari kedua ayat di atas. Pendapat ini merupakan kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang kuat seandainya tidak ada apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dalam hadis yang menceritakan kasus Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadis ini diketengahkah di dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur periwayatan.
Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu Khaulah) meninggal dunia, sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil darinya. Tidak lama kemudian setelah kematian suaminya, Subai'ah melahirkan bayinya. Menurut riwayat yang lain, Subai'ah melahirkan bayinya selang beberapa malam sesudah kematian suaminya. Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri untuk para pelamar. Maka masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, dan langsung berkata kepadanya, "Mengapa engkau kulihat menghiasi dirimu, barangkali kamu mengharapkan kawin? Demi Allah, kamu tidak boleh kawin sebelum kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari." Subai'ah mengatakan, "Setelah Abus Sanabil berkata demikian kepadaku, maka kupakai pakaianku pada petang harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan menanyakan kepadanya masalah tersebut. Maka beliau Saw. memberikan jawabannya kepadaku, bahwa diriku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan bayiku, dan beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk kawin jika aku suka."
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya menurut suatu riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, lalu merujuk kepada hadis Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu Abbas sendiri membantah pendapat tersebut dengan berdalilkan hadis Subai'ah.
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini dibenarkan dengan adanya suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua temannya menekuni hadis Subai'ah, sama halnya dengan pendapat semua ahlul ilmi.
Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si istri adalah seorang budak wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak wanita adalah separo dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Dikatakan demikian karena hukuman had yang di jalani oleh budak wanita adalah separo dari hukuman had yang di jalani oleh seorang wanita merdeka. Maka demikian pula dalam masalah idah, yaitu separo dari idah wanita merdeka.
Tetapi di kalangan ulama —seperti Muhammad ibnu Sirin dan sebagian kalangan mazhab Zahiri— dikatakan bahwa dalam masalah idah ini sama saja antara wanita merdeka dan budak wanita, mengingat keumuman makna ayat ini. Juga karena masalah idah merupakan masalah yang menyangkut pembawaan yang tidak mengenal adanya perbedaan antara seorang wanita dengan wanita lainnya.
Sa'id ibnul Musayyab dan Abul Aliyah serta selain keduanya mengatakan bahwa hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, karena barangkali rahimnya telah terisi oleh kandungan. Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan menunggu dalam idahnya selama masa itu, bila ternyata kandungannya telah terisikan, niscaya akan tampak.
Di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab sahihain dan kitab lainnya disebutkan seperti berikut:

«إِنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ»

Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, lalu menjadi ‘alaqah dalam masa yang sama (empat puluh hari), kemudian beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama, kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu malaikat itu meniupkan roh ke dalam tubuhnya.
Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya dengan empat bulan, adapun sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan karena adakalanya bilangan sebagian bulan itu ada yang kurang genap. Sesudah peniupan roh ke dalam janin, maka janin mulai bergerak menunjukkan tanda kehidupan.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah yang pernah bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang sepuluh hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab menjawab, "Di masa itu dilakukan tiupan roh ke dalam tubuh janin."
Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Abul Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan kepada empat bulan?' Abul Aliyah menjawab, 'Karena digunakan untuk peniupan roh ke dalam tubuh janin'." Kedua asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Berangkat dari asar ini Imam Ahmad berpendapat di dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad (budak perempuan yang mempunyai anak dari hasil tuannya) sama dengan idah wanita merdeka dalam masalah ini, karena ia telah berubah status menjadi firasy (hamparan atau pendamping suaminya), sama halnya dengan wanita merdeka. Juga karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: dari Yazid ibnu Harun, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah ibnu Zuaib, dari Amr ibnul As yang mengatakan: Janganlah kalian mengaburkan sunnah Nabi kita kepada kita; idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya ialah empat bulan sepuluh hari.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Qutaibah, dari Gundar, dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A'la, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Matar Al-Wariq, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah, dari Amr ibnul As yang menceritakan hadis ini.
Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa ia mengingkari hadis ini.
Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah mendengar dari Amr. Akan tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang kepada hadis ini, di antaranya ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ibnu Abdul Aziz. Hal ini pula yang dianjurkan oleh Yazid ibnu Abdul Malik ibnu Marwan ketika ia menjabat sebagai Amirul Muminin. Hal ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat darinya.
Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta As-Sauri dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad melakukan idahnya dengan tiga kali haid. Pendapat ini berasal dari Ali r.a., Ibnu Mas'ud, Ata, dan Ibrahim An-Nakha'i.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Makhul, Al-Lais, Abu Ubaid, dan Abu Saur serta jumhur ulama.
Al-Lais mengatakan, "Seandainya suami ummul walad meninggal dunia, sedangkan dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu sudah cukup untuk idahnya."
Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul walad dari kalangan wanita yang tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga bulan."
Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan, "Hal yang paling aku sukai ialah bila ummul walad menjalani idahnya selama satu bulan tiga hari."

00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ

Menurut: Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Dalam kurun waktu itu ia tidak boleh keluar dari rumah suami, berhias maupun menikah. Apabila masa idah itu sudah habis, maka tidak ada dosa bagimu -wahai para wali- bila para istri itu melakukan apa yang semula dilarang bagi mereka selama masa idah, sepanjang dilakukan secara baik menurut ketentuan syariat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Menurut TAFSIR JALALAIN

(Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya, (mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan (secara baik-baik), yakni menurut agama. 

Menurut TAFSIR QURAISH SHIHAB

Apabila masa idah telah berakhir, maka kalian, para wali, boleh membiarkannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik hingga sampai akhir masa idah. Sebaliknya, ia tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang oleh agama.

Menurut TAFSIR ibnu Katsir

Firman Allah Swt.:

{فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}

Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat. (Al-Baqarah: 234)
Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wajib hukumnya ihdad (berbelasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama ia menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy Ummul Muminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِالْلَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa)nya atas mayat lebih dari tiga hari; kecuali bila yang meninggal adalah suaminya, maka selama empat bulan sepuluh hari.
Di dalam kitab Sahihain pula disebutkan sebuah hadis dari Ummu Salamah r.a.:

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوَفِّي عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا أَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ «لَا» كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ- لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا هِيَ أربعة أشهر وعشر، وقد كانت إحداكم فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَمْكُثُ سَنَةً»

Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan matanya mengalami gangguan penyakit, bolehkah kami mencelakinya (mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak," semua pertanyaan beliau jawab dengan tidak sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya idah yang harus di jalaninya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara kalian di masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun."
Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka wanita itu memasuki sebuah namah gubuk, lalu memakai pakaiannya yang paling buruk; tiada wewangian dan tiada lainnya yang ia pakai selama satu tahun. Setelah lewat satu tahun ia keluar dari gubuk itu dan diberi kotoran unta, lalu ia melempar kotoran itu. Kemudian diberikan kepadanya seekor hewan, yaitu keledai atau kambing atau burung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan tersebut. Maka jarang sekali hewan yang diusapnya dapat bertahan hidup melainkan kebanyakan mati (karena baunya yang sangat busuk).
Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama berpendapat bahwa ayat ini me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya:

{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ}

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah. (Al-Baqarah: 240), hingga akhir ayat.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian dalam pembahasannya.
Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah meninggalkan perhiasan berupa wewangian dan tidak memakai pakaian yang mendorongnya untuk bergairah kawin lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tanpa ada yang memperselisihkannya. Tetapi sebaliknya, hal ini tidak wajib bagi wanita yang berada dalam idah talak raji'.
Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang ditalak ba-in? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat.
Ber-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang ditinggal oleh suami-suami mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak ber-haid, wanita merdeka, maupun budak wanita yang muslimah dan yang kafir, mengingat keumuman makna ayat.
As-Sauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua temannya mengatakan tidak ada ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' dari kalangan teman-teman Imam Malik. Hujah yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang lebih dari tiga hari; kecuali bila ditinggal mati suaminya, maka empat bulan sepuluh hari. Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud.
Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta As-Sauri memasukkan ke dalam pengertian ini istri yang masih kecil yang belum terkena taklif. Imam Abu Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke dalam pengertian ini budak wanita muslimah yang tidak memiliki kemerdekaan (mengingat masalah idah adalah masalah ta'abbud). Pembahasan mengenai masalah ini secara rinci terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas masalah hukurn dan cabang-cabangnya.

********************

Firman Allah Swt.:

{فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ}

Kemudian apabila telah habis idahnya. (Al-Baqarah: 234)
Yakni masa idahnya telah habis, menurut Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

{فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}

maka tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 234)
Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri.

{فِيمَا فَعَلْنَ}

membiarkan mereka berbuat. (Al-Baqarah: 234)
Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah menghabiskan masa idahnya. Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila seorang istri diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah menghabiskan masa idahnya, maka tidak dosa atas dirinya untuk menghias diri dan mempercantik diri serta menawarkan diri untuk dikawini. Pengertian ini sudah dimaklumi. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah: 234) Makna yang dimaksud ialah untuk nikah yang halal lagi baik.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Az-Zuhri, dan As-Saddi.

00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000

وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Menurut: Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 

Allah Maha mengetahui apa yang kamu perbuat, tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya, baik sisi lahir maupun batin kalian, dan Dia akan memberi balasan yang setimpal dengan amal perbuatan kalian.

Menurut TAFSIR JALALAIN
(Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin.

Menurut TAFSIR QURAISH SHIHAB

Sebab, Allah Mahaperiksa atas segala rahasia kalian dan mengetahui apa yang kalian lakukan untuk kemudian memperhitungkannya.