وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
Referensi: https://tafsirweb.com/971-quran-surat-al-baqarah-ayat-241.html
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 241. Wanita-wanita yang ditalak berhak mendapatkan pemberian berupa pakaian, harta (uang) dan lain-lain secara wajar sesuai kondisi suami, baik sedikit ataupun banyak untuk mengobati perasaannya yang hancur karena perceraian. Ketentuan hukum ini merupakan keharusan bagi orang yang bertakwa kepada Allah -Ta'ālā- dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Referensi: https://tafsirweb.com/971-quran-surat-al-baqarah-ayat-241.html
Referensi: https://tafsirweb.com/971-quran-surat-al-baqarah-ayat-241.html
TAFSIR JALALAYN
(Wanita-wanita yang diceraikan hendaklah mendapat mutah), maksudnya diberi mutah (secara patut), artinya menurut kemampuan suami (sebagai suatu kewajiban), 'haqqan' dengan baris di atas sebagai maf`ul mutlak bagi fi`ilnya yang dapat diperkirakan (bagi orang-orang yang takwa). Hal ini diulang kembali oleh Allah agar mencapai pula wanita-wanita yang telah dicampuri, karena ayat yang lalu adalah ayat mengenai yang belum dicampuri.
TAFSIR QURAIH SHIHAB
Wanita-wanita yang dijatuhi talak suaminya setelah digauli, berhak memperoleh harta sesuai keinginan mereka, sebagai penghibur diri. Harta itu diberikan dengan cara yang terbaik dengan melihat kondisi finansial suami. Sebab yang demikian itu merupakan konsekuensi ketakwaan dan keimanan.
TAFSIR IBNU KATSIR
Firman Allah Swt:
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:
Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:
{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ}
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236)Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar