Cari Blog Ini

Sabtu, 29 Agustus 2020

TAFSIR AL BAQARAH 197

 

 

ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

Terjemah Arti: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 197 197. Waktu pelaksanaan ibadah haji ialah bulan-bulan yang dimaklumi, mulai dengan bulan Syawal dan berakhir pada sepuluh hari (pertama) di bulan Zulhijah. Siapa yang mewajibkan dirinya melaksanakan ibadah haji pada bulan-bulan tersebut dan melaksanakan ihram haji, maka ia dilarang bersetubuh dan melakukan hal-hal yang merupakan pengantar bersetubuh. Dia juga dilarang keras keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan perbuatan maksiat, demi menghormati keagungan waktu dan tempat tersebut. Dan ia juga dilarang melakukan perdebatan yang menjurus kepada kemarahan dan perseteruan. Perbuatan baik apapun yang kalian lakukan pasti diketahui oleh Allah untuk dibalasnya. Laksanakanlah ibadah haji seraya melengkapi diri dengan bekal makanan dan minuman yang kalian butuhkan. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik bekal dan dapat memperlancar semua urusanmu ialah ketakwaan kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada-Ku dengan cara menjalankan perintah-perintah-Ku dan menjauhi larangan-larangan-Ku, wahai orang-orang yang berakal sehat. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 197. Waktu pelaksanaan haji meliputi beberapa bulan yang telah diketahui, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Barangsiapa yang menjalankan haji dan mulai berihram, maka haram baginya berjima’ dan melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskannya kepada jima’, diharamkan pula perbuatan maksiat dan perdebatan yang menjerumuskan pada perselisihan. Dan perbuatan baik yang kalian kerjakan saat ibadah haji diketahui oleh Allah dan Dia akan membalasnya. Berbekallah untuk menjalankan haji dengan makanan dan kebutuhan lainnya, dan berbekallah untuk kehidupan akhirat dengan amal shalih, dan sebaik-baik bekal yang kalian bawa adalah ketakwaan. Dan takutlah kalian dari azab-Ku hai orang-orang yang memiliki akal yang sehat. Ibnu Abbas berkata: “…..Bulan-bulan untuk pelaksanaan haji yang Allah sebutkan yakni bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Maka barangsiapa yang menjalankan haji tamattu’ maka wajib baginya membayar dam -menyembelih hewan sembelihan- atau berpuasa.” (Shahih Bukhari, Haji, Bab 37, no. 1572). Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi, yakni syawal, zulkaidah, dan zulhijjah. Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaÅ¡), yaitu perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seksual; jangan pula berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji meskipun bukan pertengkaran dahsyat. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya, karena Allah mengetahui yang tersembunyi. Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, semua yang terjadi di langit dan di bumi berada dalam pantauan-Nya. Bawalah bekal untuk memenuhi kebutuhan fisik, yakni kebutuhan konsumsi, akomodasi, dan transportasi selama di tanah suci; termasuk juga bekal iman dan takwa untuk kebutuhan ruhani, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, yakni mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah. Dan bertakwalah kepada-ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, supaya kamu menjadi manusia utuh lahir batin. Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari tuhanmu beru-pa rezeki yang halal melalui berdagang, menawarkan jasa, dan menyewakan barang. Di antara kaum muslim ada yang merasa berdosa untuk berdagang dan mencari rezeki yang halal pada musim haji, padahal Allah membolehkannya dengan cara-cara yang diatur dalam Al-Qur'an. Maka apabila kamu bertolak dari arafah setelah wukuf, sejak matahari terbenam pada tanggal 9 zulhijah dan sudah sampai di muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di masy'arilharam, yakni di muzdalifah, dengan tahlil, talbiah, takbir, dan tahmid. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana dia telah memberi petunjuk kepadamu mengikuti agama yang benar, keyakinan yang kukuh, ibadah yang istikamah, dan akhlak yang mulia, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu. Zikir itu merupakan rasa syukur atas nikmat Allah yang telah membimbing para jamaah haji menjadi orang-orang beriman.( https://tafsirweb.com/719-quran-surat-al-baqarah-ayat-197.html)

TAFSIR QURAISH SHIHAB Ibadah haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu yang sudah kalian ketahui sejak masa Nabi Ibrâhîm a. s. Bulan-bulan tesebut adalah Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah. Maka barangsiapa yang berniat haji dan telah masuk di bulan-bulan itu, ia harus memelihara etika haji. Etika haji itu, di antaranya, adalah bahwa seseorang yang berihram dilarang menggauli istri; menjauhi kemaksiatan seperti mencaci, berdebat, bertengkar dan sebagainya; dan menghindari hal-hal yang akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Dengan demikian, diharapkan seorang yang berihram haji itu jiwanya menjadi bersih. Berusahalah melakukan kebajikan seraya memohon ganjaran Allah melalui tindakan-tindakan amal saleh. Sesungguhnya Allah mengetahui yang demikian itu dan Dia akan memberikan balasan-Nya. Berbekallah untuk akhiratmu dengan bertakwa dan menjalankan segala perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Itulah bekal yang terbaik untuk kalian. Dan takutlah kepada Allah atas apa yang kalian lakukan dan tinggalkan sesuai tuntutan akal dan kebajikan. Maka janganlah kalian nodai perbuatan-perbuatan kamu sekalian dengan hawa nafsu dan tujuan-tujuan duniawi. (https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-197#tafsir-quraish-shihab)

TAFSIR JALALAYN (Haji), maksudnya adalah waktu dan musimnya (beberapa bulan yang dimaklumi), yaitu Syawal, Zulkaidah dan 10 hari pertama bulan Zulhijah. Tetapi ada pula yang mengatakan seluruh bulan Zulhijah. (Maka barang siapa yang telah menetapkan niatnya) dalam dirinya (akan melakukan ibadah haji pada bulan-bulan itu) dengan mengihramkannya, (maka tidak boleh ia mencampuri istrinya), yakni bersetubuh (dan jangan berbuat kefasikan) berbuat maksiat (dan jangan berbantah-bantahan) atau terlibat dalam percekcokan (sewaktu mengerjakan haji). Menurut satu qiraat, dengan baris di atas dua hal yang pertama dan makna yang dimaksud adalah larangan mengerjakan tiga hal itu. (Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan) sedekah (pastilah diketahui oleh Allah) yang akan membalas kebaikan itu. Ayat berikut ini diturunkan kepada penduduk Yaman yang pergi naik haji tanpa membawa bekal, sehingga mereka menjadi beban orang lain. (Dan berbekallah kamu) yang akan menyampaikan kamu ke tujuan perjalananmu (dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa), artinya yang dipergunakan manusia untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan sebagainya. (Dan bertakwalah kamu kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal)( https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-197#tafsir-jalalayn)

TAFSIR IBNU KATSIR. Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Orang-orang Yaman apabila naik haji tidak membawa bekal apa-apa, dengan alasan tawakal kepada Allah Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan selainnya, yang bersumber dari Ibnu Abbas) Firman-Nya (الحج أشهر معلومات) ahli Bahasa Arab berbeda pendapat mengenai firman Allah Taala ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksudnya, Haji itu adalah pada bulan-bulan yang dimaklumi. Dengan demikian, ihram pada waktu haji di bulan-bulan itu lebih sempurna dari ihram di luar bulan-bulan tersebut, meskipun ihram itu sah. Pendapat yang mensahkan ihram di sepanjang tahun adalah mazhab Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishak bin Rahawaih. Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala pada ayat sebelumnya yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji.” Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan ihram untuk haji kapan saja sepanjang tahun. Sama halnya dengan ibadah umrah.Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwasanya ihram untuk haji tidak sah kecuali pada bulan-bulan haji. Jika seseorang berihram haji sebelum bulan itu, maka ihramnya itu tidak sah. Dan apakah hal itu menjadi umrah? Mengenai hal ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari beliau. Pendapat yang menyatakan bahwa ihram untuk haji itu tidak sah kecuali bulan-bulan yang telah ditentukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan jabir. Demikian pula pendapat Atha’, Thawus, dan Mujahid. Sedang dalil menjadi landasannya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat ini. Lahiriyah ayat ini mengandung pengertian lain yang juga merupakan pendapat para ahli nahwu, yaitu bahwa waktu haji adalah bulan-bulan yang telah ditentukan. Dengan demikian, Allah Ta’ala telah mengkhususkan haji pada bulan-bulan itu di antara bulan-bulan yang ada. Ini menunjukkan bahwasanya ihram untuk haji itu tidak sah jika dilakukan sebelum bulan-bulan itu, sebagaimana halnya dengan waktu Salat.Imam Syafi’i rahimahullahu meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidak seyogianya seseorang berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” Tentang firman-Nya tersebut Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya; “Yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah.” Hadis mu’allaq yang disebutkan Al-Bukhari dengan bentuk pasti, diriwayatkan Ibnu Jarir sebagai hadis maushul, dari Ibnu Umar, dengan sanad sahih. Juga diriwayatkan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, dari Ibnu Umar, dan ia mengatakan bahwa hadis ini memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir katakan, “Hadis ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Zubair, dan Ibnu Abbas. Dan itulah mazhab Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf, dan Abu Tsaur rahimahullahu.” Dan pendapat ini menjadi pilihan Ibnu Jarir, katanya, “Boleh saja jumlah dua bulan dan sebagian hari dari bulan ketiga diungkapkan dalam bentuk jamak untuk menetapkan yang umum, sebagaimana halnya masyarakat Arab mengatakan, “Saya melihatnya tahun ini.” Padahal yang dimaksudkan adalah sebagian dari tahun saja. Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’i menurut pendapat lama (qaulul qadim) mengatakan, “Bulan-bulan itu adalah Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzullujjah secara penuh.” Yang demikian itu juga merupakan riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah.” Dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, dari Ibnu Wahab dari Ibnu Juraij, ia menceritakan, pernah kutanyakan kepada Nafi’, “Apakah engkau pernah mendengar Abdullah bin Umar menyebut bulan-bulan haji?” Ia menjawab, “Ya, Abdullah bin Umar menyebutnya Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.” Ibnu Juraij mengatakan: “Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syihab, Atha’, Jabr bin Abdullah seorang sahabat Nabi. Sanad ini sahih sampai kepada Ibnu Juraij. Menurut mazhab Imam Malik, waktu haji itu sampai akhir bulan Dzulhijjah, berarti waktu itu dikhususkan untuk menunaikan ibadah haji sehingga tidak diperbolehkan mengerjakan umrah pada sisa hari bulan Dzulhijjah, bukan berarti haji itu sah dilakukan setelah malam hari Idul Adha.Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Thariq bin Syihab, ia menuturkan, Abdullah bin Umar mengatakan, “Musim haji itu adalah bulan-bulan yang telah ditentukan, yang di dalamnya tidak boleh mengerjakan umrah.” Sanad ini adalah sahih. Ibnu Jarir mengatakan, orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah menghendaki bahwa bulan-bulan itu bukan bulan-bulan umrah, melainkan hanya untuk haji saja, meskipun amalan haji telah selesai dengan berakhirnya hari-hari di Mina. Sebagaimana dikatakan Muhammad bin Sirin, “Tidak ada seorang ulama pun meragukan bahwa umrah di luar bulan-bulan haji itu lebih baik daripada umrah pada bulan-bulan haji.” Ibnu Aun juga menceritakan, aku pernah bertanya kepada Qasim bin Muhammad mengenai umrah pada bulan-bulan haji, maka ia pun menjawab, “Mereka berpendapat bahwa hal itu kurang sempurna.” Sehubungan dengan hal itu Ibnu Katsir mengatakan: “Telah diriwayatkan dari Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhuma, bahwa keduanya lebih suka mengerjakan umrah di luar bulan-bulan haji, dan melarang mengerjakannya pada bulan-bulan haji.

Firman-Nya (فمن فرض فيهن الحج) maksudnya memastikan ihramnya untuk haji. Hal itu menunjukkan keharusan berihram untuk haji. Ibnu Jarir mengatakan, Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan fardhu di sini adalah keharusan dan kepastian. Mengenai ayat ini, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Barangsiapa mengerjakan ihram untuk haji atau umrah.” Sedangkan Atha’ mengemukakan, “Yang dimaksud dengan fardhu itu adalah ihram.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Adh-Dhahhak, dan ulama lainnya. Masih mengenai ayat tersebut di atas, Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, “Tidak selayaknya seseorang bertalbiah untuk haji dan setelah itu ia tetap tinggal di negeri (luar Tanah Haram).” Menurut Ibnu Abi Hatim, hal ini diriwayatkan pula dari Ibnu Masud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair. Thawus dan Qasim bin Muhammad mengatakan, “Yang dimaksud adalah talbiyah.”

Firman-Nya (فلا رفث) maksudnya, barangsiapa yang berihram untuk haji atau umrah, maka hendaklah ia menghindari rafats, yaitu hubungan badan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نسائكم) artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu. Diharamkan pula melakukan hal-hal yang mengantarakan pada rafats, misalnya pelukan, ciuman, dan semisalnya. Demikian juga membicarakannya di hadapan para wanita. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus bahwa Abdullah bin Umar pernah mengatakan, “Ar-Rafats berarti mencampuri istri dan membicarakan hal itu dengan orang laki-laki maupun perempuan, jika yang demikian itu diucapkan dengan lisan mereka.” Atha’ bin Abi Rabah mengatakan: “Ar-rafats berarti jima’ (senggama) dan selain itu, misalnya ucapan kotor.” Lebih lanjut Atha’ menuturkan, “Mereka memakruhkan kata sindiran yang kotor ketika sedang berihram.” Dan Thawus mengatakan: “Yang dimaksud ar-rafats adalah seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, jika aku telah bertahallul, aku akan mencampurimu.” Dan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ar-rafats berarti mencampuri istri, mencium, atau kedipan mata, serta mengucapkan kata-kata kotor kepadanya.”
Firman-Nya (
فلا فسوق) Muqsim dan beberapa ulama lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Yaitu segala perbuatan maksiat. Sedangkan ulama lainnya menuturkan: “Yang dimaksud al-fusuq di sini adalah caci maki.” Demikian dikatakan Ibnu Abbas dan Umar. Mereka ini berpegang pada apa yang ditegaskan dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ"

Artinya: “Mencaci maki orang muslim itu merupakan suatu kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran.” (HR. Al-Bukhari 6044 dan Muslim 63)

Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan, “Al-fusuq berarti memberi gelar buruk.” Yang benar adalah mereka yang mengartikan Al-fusuq di sini segala bentuk kemaksiatan, sebagaimana Allah Ta’ala melarang kezaliman pada bulan-bulan haji, meskipun kezaliman itu sendiri sebenarnya dilarang sepanjang tahun, hanya saja pada bulan-bulan haji hal itu lebih ditekankan lagi. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 36 yang artinya: “Di antara empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu.” Dia juga berfirman tentang tanah haram dalam Surah Al-Hajj yang artinya: “Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.”

Dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ"

Artinya: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ke rumah ini (Baitullah), lalu ia tidak melakukan rafats, dan tidak pula berbuat kefasikan, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Al-Bukhari 1521 dan Muslim 1350)

Firman-Nya (ولا جدال في الحج) mengenai firman-Nya ini terdapat dua pendapat: Pendapat pertama, tidak boleh berbantah-bantahan pada waktu haji dalam mengerjakan manasik. Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempuma. Sebagaimana Waqi’ menceritakan, dari Al-‘Ala’ bin Abdul Karim, aku pemah mendengar Mujahid membaca lafaz ini seraya mengatakan, Allah Ta’ala telah menjelaskan bulan-bulan haji yang di dalamnya tidak terdapat perkara yang perlu diperdebatkan di kalangan umat manusia. Masih mengenai firman-Nya ini, Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Yang dimaksudkan adalah bertengkar dalam haji.” Sedangkan Abdullah bin Wahab meriwayatkan dari Imam Malik maksudnya, bahwa orang-orang Quraisy pada waktu haji berwukuf di Masy’arilharam di Muzdalifah, sedang orang-orang Arab dan juga yang lainnya berwukuf di Arafah, mereka saling berbantah-bantahan. Satu kelompok menyatakan, “Kami yang lebih benar.” Dan kelompok lainnya mengaku: “Kamilah yang lebih benar.” Demikian itulah pendapat kami. Inti dari pendapat-pendapat tersebut yang menjadi pilihan Ibnu Jarir, yaitu menghentikan perselisihan dalam manasik haji.

Pendapat kedua, yang dimaksud dengan berbantah-bantahan di sini adalah perselisihan. Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud, mengenai firman Allah Ta’ala ini adalah jika engkau mencaci sahabatmu hingga membuatnya marah.” Demikian pula yang diriwayatkan Muqsim dan Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas. Dalam musnadnya, Imam Abd bin Humaid meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, katanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: “Barangsiapa menuntaskan manasiknya dan kaum muslimin selamat dari lidah dan tangannya, maka ia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah lalu.” (HR. Imam Abd bin Humaid dalam Kitab Al-Muntakhab 1148)

Firman-Nya (وما تفعلوا من خير يعلمه الله) maksudnya setelah Allah Taala melarang mereka melakukan hal-hal yang buruk, baik melalui lisan maupun perbuatan, Dia memerintah mereka berbuat kebaikan seraya memberitahukan bahwa Dia mengetahuinya dan akan memberikan pahala sebanyak-banyaknya itas semua itu pada hari kiamat kelak.

Firman-Nya (وتزودوا فإن خير الزاد التقوى) menurut Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ada beberapa orang yang pergi meninggalkan keluarga mereka dengan tidak membawa perbekalan seraya berucap: Kami akan menunaikan haji ke Baitullah, apakah mungkin Allah Ta’ala tidak memberi makan kami?”‘ Maka Allah Ta’ala pun berfirman (yang maknanya), “Berbekallah kalian, dengan sesuatu yang dapat menjaga kehormatan wajah kalian dari manusia.” Sedangkan hadis Warqa’ diriwayatkan Al-Bukhari dari Yahya bin Bisyr, dari Syababah, juga diriwayatkan Abu Dawud, dari Ibnu Abbas, katanya, “Ketika itu penduduk Yaman menunaikan ibadah haji, tetapi mereka tidak membawa bekal, dan mereka berujar, ‘Kami adalah orang-orang yang bertawakal.’ Maka Allah menurunkan lafaz-Nya ini. Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Sahihnya, dari Syababah.

Firman-Nya (فإن خير الزاد التقوى) maksudnya setelah Allah Taala menyuruh mereka membekali diri dalam melakukan perjalanan di dunia, Dia membimbing mereka untuk membekali diri menuju akhirat, yaitu bekal takwa. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-A’raaf ayat 26 yang artinya: “Dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” Setelah Allah Ta’ala menyebutkan pakaian yang bersifat material, ia membimbing mereka kepada pakaian yang bersifat immaterial, yaitu kekhusyu’an, ketaatan, dan ketakwaan. Kemudian Dia menyebutkan bahwa pakaian terakhir ini lebih baik dan bermanfaat daripada pakaian yang pertama. Mengenai firman-Nya ini, Atha Al-Khurasani mengatakan: “Yaitu bekal akhirat.” Firman-Nya (واتقون يأولي الألباب) maksudnya takutlah akan hukuman siksa dan azab-Ku bagi orang-orang yang menentang-Ku, dan tidak mau menjalankan perintah-Ku, hai orang-orang yang berakal dan dapat memahami. (http://baitsyariah.blogspot.com/2019/02/surah-al-baqarah-ayat-197-tafsir-ibnu.html)




 

Sabtu, 22 Agustus 2020

TAFSIR AL BAQARAH 196

 

وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا۟ رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْهَدْىُ مَحِلَّهُۥ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِۦٓ أَذًى مِّن رَّأْسِهِۦ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلْعُمْرَةِ إِلَى ٱلْحَجِّ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ فِى ٱلْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُۥ حَاضِرِى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ 

 Terjemah Arti: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 196 196. Laksanakanlah haji dan umrah secara sempurna seraya memohon wajah Allah. Apabila kalian tidak kuasa menyempurnakannya karena sakit atau dicegah musuh, maka kalian harus menyembelih binatang hadyu yang bisa kalian dapatkan, baik berupa unta, sapi maupun kambing, agar kalian bisa bertahallul (melepaskan diri) dari ihram. Dan janganlah kalian mencukur atau memendekkan rambut sebelum binatang hadyu itu sampai ke tempat yang dihalalkan untuk menyembelihnya. Apabila seseorang dicegah masuk ke tanah haram, maka dia dapat menyembelihnya di tempat dia dicegah. Dan apabila dia dapat masuk ke tanah haram, dia harus menyembelihnya di tanah haram pada hari nahr (Idul Adha) dan hari-hari tasyrik. Siapa di antara kalian sakit atau terdapat gangguan di rambut kepalanya, seperti kutu rambut dan sejenisnya, lalu dia terpaksa mencukur rambutnya, maka tidak ada dosa baginya, tetapi dia wajib membayar fidyah karena tindakan itu, yaitu berupa puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin di tanah haram, atau menyembelih seekor kambing dan dibagikan kepada orang-orang miskin yang ada di tanah haram. Apabila kalian tidak dalam kondisi takut, maka siapa yang mengerjakan haji tamatuk, yaitu melaksanakan ibadah umrah di bulan-bulan haji dan menikmati hal-hal yang sebelumnya diharamkan waktu berihram sampai dia memakai ihram kembali untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun itu juga, maka hendaklah dia menyembelih binatang hadyu yang bisa dia dapatkan, baik berupa seekor kambing, sepertujuh ekor unta atau sapi. Jika tidak mampu menyembelih binatang hadyu, maka sebagai gantinya dia harus berpuasa selama tiga hari di hari-hari haji, dan tujuh hari setelah pulang ke rumahnya, sehingga jumlahnya genap sepuluh hari. Melaksanakan haji tamatuk dengan kewajiban menyembelih hadyu atau puasa bagi yang tidak mampu hanya berlaku bagi selain penduduk tanah haram dan orang-orang yang tinggal di dekat tanah haram; karena mereka tidak memerlukan tamattuk. Keberadaan mereka di tanah haram membuat mereka cukup melaksanakan tawaf saja sebagai ganti melaksanakan tamatuk. Takutlah kamu kepada Allah dengan cara mengikuti ketentuan syariat-Nya dan menghormati batas-batasnya. Dan ketahuilah bahwa Allah itu Mahakeras hukumannya bagi orang yang melanggar perintah-Nya.Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 196. Dan laksanakanlah manasik haji dan umrah dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, dengan mengharap keridhaan Allah. Namun jika ada sesuatu yang menghalangi kalian untuk menyempurnakannya seperti musuh, penyakit, dan musibah, sedangkan kalian masih berihram; maka wajib bagi kalian menyembelih unta, sapi, atau kambing sesuai kemampuan kalian agar kalian dapat keluar dari keadaan berihram (tahallul). Dan janganlah kalian mencukur rambut kalian untuk keluar dari keadaan ihram sampai hewan sembelihan itu selesai di sembelih di tanah haram atau di tempat kalian terhalangi. Jika telah selesai, maka kalian boleh bertahallul. Dan barangsiapa yang sakit atau di kepalanya terdapat sesuatu yang memaksanya memotong rambut, maka boleh baginya memotong rambut, namun dia harus membayar fidyah -memilih antara puasa tiga hari, memberi makan enam orang miskin, atau menghadiahkan kambing kepada orang-orang fakir yang tinggal di tanah haram-. Jika kalian dalam keadaan sehat dan aman, kemudian menjalankan haji tamattu’ -bertahallul setelah umrah sehingga dibolehkan untuk menikmati apa yang boleh dinikmati orang yang tidak berihram seperti memakai parfum, bersetubuh dengan istri, dan lain sebagainya- atau menjalankan haji qiran, maka wajib baginya menyembelih hewan unta, sapi, atau kambing sesuai kemampuannya. Dan barangsiapa yang tidak memiliki harta untuk memberi hewan sembelihan maka wajib baginya berpuasa sepuluh hari -3 hari dilaksanakan pada bulan haji dan 7 hari dilaksanakan setelah selesai haji dan telah kembali ke tempat tinggalnya-, itulah puasa sepuluh hari sempurna yang wajib dilakukan. Hukum bertamattu’ dan menyembelih sembelihan ini diperuntukkan bagi orang yang bukan penduduk Makkah. Bertakwalah kepada Allah dalam menjalankan hukum-hukum-Nya, dan ketahuilah Allah Maha keras siksa-Nya bagi orang yang menyelisihi perintah-Nya.Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah dengan memenuhi syarat, wajib, rukun, maupun sunah-sunahnya dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan rida Allah, dalam keadaan aman dan damai, baik di perjalanan maupun di tempat-tempat pelaksanaan manasik haji. Tetapi jika kamu terkepung oleh musuh, dalam keadaan perang atau situasi genting sehingga tidak dapat melaksanakan manasik haji pada tempat dan waktu yang tepat, maka ada ketentuan rukhshah (dispensasi) dengan diberlakukannya dam (pengganti) sebagai berikut. Pertama, sembelihlah hadyu, yaitu hewan yang disembelih sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji, yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebagai tanda selesainya salah satu rangkaian ibadah haji sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya dengan tepat. Kedua, jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu dia bercukur sebelum selesai melaksanakan salah satu dari rangkaian manasik haji, maka dia wajib membayar fidyah atau tebusan yaitu dengan memilih salah satu dari berpuasa, bersedekah atau berkurban supaya kamu bisa memilih fidyah yang sesuai dengan kemampuan kamu. Ketiga, apabila kamu dalam keadaan aman, tidak terkurung musuh, dan tidak terkena luka, tetapi kamu memilih tamattu, yakni mendahulukan umrah daripada haji pada musim haji yang sama, maka ketentuannya adalah bahwa barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat di sekitar masjidilharam. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya yakni tidak mampu dan tidak memiliki harta senilai binatang ternak yang harus disembelih, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali ke tanah air. Itu seluruhnya sepuluh hari secara keseluruhan. Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada, yakni tinggal atau menetap, di sekitar masjidilharam melainkan berdomisili jauh di luar mekah seperti kaum muslim indonesia. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya bagi orang-orang yang tidak menaati perintah dan aturan-Nya. Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi, yakni syawal, zulkaidah, dan zulhijjah. Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaÅ¡), yaitu perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seksual; jangan pula berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji meskipun bukan pertengkaran dahsyat. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya, karena Allah mengetahui yang tersembunyi. Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, semua yang terjadi di langit dan di bumi berada dalam pantauan-Nya. Bawalah bekal untuk memenuhi kebutuhan fisik, yakni kebutuhan konsumsi, akomodasi, dan transportasi selama di tanah suci; termasuk juga bekal iman dan takwa untuk kebutuhan ruhani, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, yakni mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah. Dan bertakwalah kepada-ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, supaya kamu menjadi manusia utuh lahir batin.(https://tafsirweb.com/717-quran-surat-al-baqarah-ayat-196.html)

TAFSIR QURAISH SHIHAB
Lakukanlah ibadah haji dan umrah secara sempurna dengan mengharap perkenan Allah semata. Janganlah kalian melakukannya untuk kepentingan dunia, semisal prestise dan sebagainya. Jika di perjalanan kalian dikepung musuh, sedangkan kalian telah berniat haji dan telah mengenakan pakaian ihram, maka kalian boleh melepas ihram itu setelah mencukur rambut. Sebelumnya, kalian harus menyembelih kurban yang mudah didapat, seperti kambing, unta atau sapi. Lalu sedekahkanlah kurban itu pada orang-orang miskin. Dan janganlah kalian mencukur rambut kecuali setelah menyembelih kurban. Barangsiapa telah berihram kemudian ada gangguan di kepalanya karena sakit atau luka di kepala, maka ia boleh mencukur rambut. Tetapi ia diwajibkan berfidyah yaitu dengan berpuasa selama tiga hari, atau bersedekah dalam bentuk makanan pokok kepada enam orang miskin, atau menyembelih seekor kambing yang disedekahkan kepada fakir miskin. Dan bila berada di negeri yang aman dan damai yang tidak dihalangi oleh musuh, kalian boleh melakukan umrah lebih dulu (tamattu') hingga tiba waktu haji. Lalu berihramlah untuk niat haji. Di sini, kalian diwajibkan menyembelih seekor kambing yang dagingnya disedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram. Jika kambing sulit didapatkan atau kalian tidak mampu mengeluarkan dana seharga kambing, maka berpuasalah selama tiga hari di Mekah dan tujuh hari sekembalinya kalian ke tengah-tengah keluarga. Kewajiban seperti ini hanya dikhususkan bagi mereka yang bukan penduduk kota Mekah. Bagi penduduk Mekah, tidak diwajibkan apa-apa ketika melakukan haji tamattu'.(https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-196#tafsir-quraish-shihab)

TAFSIR AL BAQARAH 195

 

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ 

Terjemah Arti: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 195 195. Belanjakanlah harta kalian dalam ketaatan kepada Allah, seperti jihad dan lain-lain. Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan karena meninggalkan jihad dan enggan mengeluarkan dana untuk kepentingan jihad; atau dengan cara menjerumuskan diri sendiri ke dalam tindakan yang dapat mencelakakan kalian. Berbuat baiklah kalian dalam masalah ibadah, muamalah dan akhlak. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik dalam semua urusannya. Maka Allah memberikan pahala yang besar kepada mereka dan membimbing mereka ke jalan yang benar.Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 195. Karena berperang di jalan Allah membutuhkan harta dan biaya, maka Allah memerintahkan untuk berinfak demi menolong agama Allah dan membantu perjuangan jihad di jalan-Nya. Dan Allah juga melarang dari membahayakan diri yang dapat menjerumuskan dalam kematian akibat kebakhilan dan keengganan berinfak sehingga melemahkan perjuangan jihad di jalan Allah. Maka berinfaklah dengan baik dan ikhlaslah dalam beramal, sungguh Allah Mencintai orang-orang yang berbuat baik kepada diri sendiri dan umatnya.Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Dan infakkanlah hartamu di jalan Allah dengan menyalurkannya untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim, memberi beasiswa, membangun fasilitas umum yang diperlukan umat islam seperti rumah sakit, masjid, jalan raya, perpustakaan, panti jompo, rumah singgah, dan balai latihan kerja. Dan janganlah kamu jatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dengan melakukan tindakan bunuh diri dan menyalurkan harta untuk berbuat maksiat. Tentu lebih tepat jika harta itu disalurkan untuk ber-buat baik bagi kepentingan orang banyak, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik dengan ikhlas. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah dengan memenuhi syarat, wajib, rukun, maupun sunah-sunahnya dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan rida Allah, dalam keadaan aman dan damai, baik di perjalanan maupun di tempat-tempat pelaksanaan manasik haji. Tetapi jika kamu terkepung oleh musuh, dalam keadaan perang atau situasi genting sehingga tidak dapat melaksanakan manasik haji pada tempat dan waktu yang tepat, maka ada ketentuan rukhshah (dispensasi) dengan diberlakukannya dam (pengganti) sebagai berikut. Pertama, sembelihlah hadyu, yaitu hewan yang disembelih sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji, yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebagai tanda selesainya salah satu rangkaian ibadah haji sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya dengan tepat. Kedua, jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu dia bercukur sebelum selesai melaksanakan salah satu dari rangkaian manasik haji, maka dia wajib membayar fidyah atau tebusan yaitu dengan memilih salah satu dari berpuasa, bersedekah atau berkurban supaya kamu bisa memilih fidyah yang sesuai dengan kemampuan kamu. Ketiga, apabila kamu dalam keadaan aman, tidak terkurung musuh, dan tidak terkena luka, tetapi kamu memilih tamattu, yakni mendahulukan umrah daripada haji pada musim haji yang sama, maka ketentuannya adalah bahwa barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat di sekitar masjidilharam. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya yakni tidak mampu dan tidak memiliki harta senilai binatang ternak yang harus disembelih, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali ke tanah air. Itu seluruhnya sepuluh hari secara keseluruhan. Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada, yakni tinggal atau menetap, di sekitar masjidilharam melainkan berdomisili jauh di luar mekah seperti kaum muslim indonesia. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya bagi orang-orang yang tidak menaati perintah dan aturan-Nya.(https://tafsirweb.com/715-quran-surat-al-baqarah-ayat-195.html)

TAFSIR QURAISH SHIHAB
Sebagaimana berjihad bisa dilakukan dengan pengorbanan jiwa, ia juga dapat disalurkan lewat pengorbanan harta. Maka infakkanlah harta kalian untuk menyiapkan peperangan. Ketahuilah, memerangi mereka itu merupakan perang di jalan Allah. Janganlah kalian berpangku tangan dan dermakanlah harta kalian untuk peperangan itu. Sebab, dengan berpangku tangan dan kikir mendermakan harta, berarti kalian rela dikuasai dan dihina musuh. Itu sama artinya kalian menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Maka lakukanlah kewajiban kalian seserius dan sebaik mungkin. Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang melakukan suatu pekerjaan secara optimal.(https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-195#tafsir-quraish-shihab)

TAFSIR JALALAYN
(Dan belanjakanlah di jalan Allah), artinya menaatinya, seperti dalam berjihad dan lain-lainnya (dan janganlah kamu jatuhkan tanganmu), maksudnya dirimu. Sedangkan ba sebagai tambahan (ke dalam kebinasaan) atau kecelakaan disebabkan meninggalkan atau mengeluarkan sana untuk berjihad yang akan menyebabkan menjadi lebih kuatnya pihak musuh daripada kamu. (Dan berbuat baiklah kamu), misalnya dengan mengeluarkan nafkah dan lain-lainnya (Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang berbuat baik), artinya akan memberi pahala mereka.(https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-195#tafsir-jalalayn)

TAFSIR IBNU KATSIR
Firman-Nya (وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة) sehubungan dengan firman Allah Ta’ala ini, Imam Al-Bukhari meriwayatkan, dari Hudzaifah, katanya, “Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan masalah infak.”
Al-Laits bin Sa’ad meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib, dari Aslam Abi Imran, katanya, ada seseorang dari kaum muhajirin di Konstantinopel menyerang barisan musuh hingga mengoyak-ngoyak mereka, sedang bersama kami Abu Ayub Al-Anshari. Ketika beberapa orang berkata, “Orang itu telah mencampakkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan,” Abu Ayub bertutur, “Kami lebih mengerti mengenai ayat ini. Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami. Kami menjadi sahabat Rasulullah, bersama beliau kami mengalami beberapa peperangan, dan kami membela beliau. Dan ketika Islam telah tersebar unggul, kami kaum Anshar berkumpul untuk mengungkapkan suka cita. Lalu kami katakan, sesungguhnya Allah telah memuliakan kita sebagai sahabat dan pembela Nabi sehingga Islam tersebar luas dan memiliki banyak penganut. Dan kita telah mengutamakan beliau daripada keluarga, harta kekayaan, dan anak-anak. Peperangan pun kini telah berakhir, maka sebaiknya kita kembali pulang kepada keluarga dan anak-anak kita dan menetap bersama mereka, maka turunlah ayat ini. Jadi, kebinasaan itu terletak pada tindakan kami menetap bersama keluarga dan harta kekayaan, serta meninggalkan jihad. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Kitab Sahih, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, semuanya bersumber dari Yazid bin Abi Habib. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih gharib. Sedangkan menurut Al-Hakim hadis ini memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Abu Bakar bin Iyasy meriwayatkan, dari Abu Ishaq As-Subai’i, bahwa ada seseorang mengatakan kepada Al-Bara’ bin Azib, “Jika aku menyerang musuh sendirian, lalu mereka membunuhku, apakah aku telah mencampakkan diriku ke dalam kebinasaan?” Al-Bara’menjawab, “Tidak, karena Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya dalam Surah An-Nisaa ayat 84 yang artinya: “Berperanglah kamu di jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri.” Hadis ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih, Al-Hakim dalam Mustadrak, dari Israil, dari Abu Ishak. Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini sahih menurut persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkan.”
At-Tirmidzi juga meiwayatkan hadis tersebut, dari Al-Bara’. Kemudian Al-Barra’ menuturkan riwayat ini. Dan setelah firman Allah Ta’ala (وتكلف إلا نفسك) (Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri). la mengatakan, “Tetapi kebinasaan itu apabila seseorang melakukan perbuatan dosa, maka ia mencampakkan dirinya ke dalam kebinasaan dan tidak mau bertaubat.”
Ibnu Abi Hatim mengemukakan, bahwa Abd Ar-Rahman Al-Aswad bin Abdi Yaghuts memberitahukan, bahwa ketika kaum Muslimin mengepung Damaskus, ada seseorang dari Azad Syanu’ah tampil dan dengan cepat bertolak untuk menyambut musuh sendirian. Maka kaum Muslimin pun mencelanya karena perbuatannya itu. Kemudian mereka melaporkan kejadian itu kepada Amr bin Al-‘Ash. Setelah itu Amr memerintahkan kepadanya agar kembali seraya menyitir firman Allah Ta’ala dalam ayat ini.
Berkata Hawn Al-Bashri, “Maksud dari ayat ini ialah bakhil (kikir).” Masih mengenai firman Allah Ta’ala tersebut, Samak bin Harb meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir, “Ayat ini mengenai seseorang yang melakukan perbuatan dosa, lalu ia yakin bahwa ia tidak akan diampuni, maka ia pun mencampakkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan. Artinya, ia semakin berbuat dosa, sehingga binasa.” Oleh karena itu diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas: “Bahwa kebinasaan itu adalah azab Allah Ta’ala.”
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Abdullah bin Iyasy, dari Zaid bin Aslam mengenai firman Allah Ta’ala ini bahwa artinya ada beberapa orang yang pergi bersama dalam delegasi yang diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa membawa bekal (nafkah), lalu Allah Ta’ala memerintahkan mereka mencari bekal (nafkah) dari apa yang telah dikaruniakan-Nya serta tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan. Kebinasaan berarti seseorang mati karena lapar dan haus atau (keletihan) berjalan.
Firman-Nya (وأحسنوا إن الله يحب المحسنين) kalimat ini mengandung perintah berinfak di jalan Allah Ta’ala dalam berbagai segi amal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan dalam segi ketaatan, terutama membelanjakan dan menginfakkan harta kekayaan untuk berperang melawan musuh serta memperkuat kaum Muslimin atas musuh-musuhnya. Selain itu, ayat ini juga memberitahukan bahwa meninggalkan infak bagi orang yang terbiasa dan selalu berinfak berarti kebinasaan dan kehancuran baginya. Selanjutnya Dia menyambung dengan perintah untuk berbuat baik, yang merupakan tingkatan ketaatan tertinggi.(https://baitsyariah.blogspot.com/2019/01/surah-al-baqarah-ayat-195-tafsir-ibnu.html)

TAFSIR AL BAQARAH 194


ٱلشَّهْرُ ٱلْحَرَامُ بِٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ وَٱلْحُرُمَٰتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ 

Terjemah Arti: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 194 194. Bulan haram di saat Allah memberi kalian kesempatan untuk masuk ke tanah suci (Makkah) dan menunaikan ibadah umrah pada tahun ke-7 (Hijriyah) adalah pengganti dari bulan haram ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi kalian dari tanah suci pada tahun ke-6 (Hijriyah). Hal-hal yang dihormati, seperti kehormatan tanah suci, bulan suci, dan ihram di dalamnya, berlaku hukum kisas terhadap orang-orang yang melakukan penyerangan di dalamnya. Siapa melakukan penyerangan pada waktu itu, maka balaslah ia dengan balasan yang setara dengan perbuatannya, tetapi jangan melampaui batas kesetaraan. Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas-batas-Nya. Takutlah kalian kepada Allah dalam melampaui batas yang diizinkan-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah senantiasa memberikan bimbingan dan dukungan kepada orang-orang yang takut kepada-Nya.Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 194. Dan jika ada yang memerangi kalian pada bulan-bulan haram -Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab- maka perangilah mereka dalam bulan-bulan itu. Demikianlah aturan pada setiap hal-hal yang disucikan dalam agama baik itu dari sisi tempat, waktu, atau lainnya; sebab balasan sesuatu sesuai dengan perbuatannya, barangsiapa yang membunuh orang yang tidak bersalah maka hukuman baginya adalah dibunuh, dan orang yang dizalimi diberikan hak untuk membalas sesuai kezaliman yang dia terima. Maka takutlah kalian dari melanggar hukum-hukum Allah, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa dengan bantuan dan pertolongan-Nya.Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Bulan haram dengan bulan haram. Jika umat islam diserang oleh orang-orang kafir pada bulan-bulan haram, yaitu zulkaidah, zulhijah, muharam, dan rajab, yang sebenarnya pada bulan-bulan itu tidak boleh berperang, maka diperbolehkan membalas serangan itu pada bulan yang sama. Dan terhadap sesuatu yang dihormati berlaku hukum kisas. Kaum muslim menjaga kehormatan tanah, tempat, dan keadaan yang dimuliakan Allah seperti bulan haram, tanah haram, yakni mekah, dan keadaan berihram untuk umrah dan haji dengan melaksanakan hukum kisas serta memberlakukan dam (denda) bagi yang melanggar larangan pada waktu berihram, baik untuk umrah maupun haji. Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Jadi, tindakan kaum muslim memerangi orang-orang musyrik pada bulan yang diharamkan Allah itu merupakan balasan setimpal atas sikap mereka yang memulai menyerang kaum muslim pada bulan yang diharamkan untuk berperang. Kaum muslim berada pada posisi membela diri dan membela kehormatan agama. Bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan apa yang diwajibkan dan menjauhi apa yang diharamkan, dan ketahuilah bahwa keridaan dan kasih sayang Allah beserta orang-orang yang bertakwa setiap waktudan infakkanlah hartamu di jalan Allah dengan menyalurkannya untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim, memberi beasiswa, membangun fasilitas umum yang diperlukan umat islam seperti rumah sakit, masjid, jalan raya, perpustakaan, panti jompo, rumah singgah, dan balai latihan kerja. Dan janganlah kamu jatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dengan melakukan tindakan bunuh diri dan menyalurkan harta untuk berbuat maksiat. Tentu lebih tepat jika harta itu disalurkan untuk ber-buat baik bagi kepentingan orang banyak, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik dengan ikhlas.(https://tafsirweb.com/713-quran-surat-al-baqarah-ayat-194.html)

TAFSIR QURAISH SHIHAB
Apabila mereka menyerang kalian di bulan haram, maka jangan kalian berdiam diri. Sesungguhnya berperang pada bulan itu diharamkan kepada mereka sebagaimana diharamkan kepada kalian. Tetapi bila mereka merusak kehormatan bulan ini, maka balaslah dengan melakukan perlawanan, karena dalam hal-hal yang menyangkut keutamaan dan kesucian dibolehkan melakukan kisas dan perlakuan setimpal. Dengan demikian, jika mereka menyerang kesucian-kesucian kalian, maka balaslah dengan penyerangan setimpal. Takutlah kepada Allah, dan janganlah berlebih-lebihan dalam melakukan pembalasan dan kisas. Ketahuilah, sesungguhnya Allah penolong orang-orang yang bertakwa.(https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-194#tafsir-quraish-shihab)

TAFSIR JALALAYN
(Bulan haram), artinya bulan suci harus dibalas pula (dengan bulan haram), maksudnya sebagaimana mereka memerangi kamu pada bulan suci, perangilah pula mereka pada bulan itu sebagai sanggahan atas sikap kaum muslimin yang menghormati bulan suci (dan pada semua yang patut dihormati) jamak dari hurmatun (berlaku hukum kisas), maksudnya bila kehormatan itu dilanggar, maka hendaklah dibalas dengan perbuatan yang setimpal (Maka barang siapa yang menyerang kamu) dalam suatu pelanggaran di tanah suci, di waktu ihram atau di bulan-bulan haram, (maka seranglah pula dia dengan suatu serangan yang seimbang dengan serangan terhadap kamu). Tindakan pembalasan itu disebut 'serangan' karena sama dengan timpalannya dalam bentuk dan rupa (Dan bertakwalah kepada Allah) dalam membela diri, jangan melampaui batas (Dan ketahuilah olehmu bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa), yakni memberi bantuan dan kemenangan.(https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-194#tafsir-jalalayn)

TAFSIR IBNU KATSIR
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Ketika Rasulullah berangkat umrah pada tahun ke-6 Hijrah, beliau bersama serombongan kaum Muslimin dihalang-halangi dan dirintangi oleh orang-orang musyrik untuk masuk dan sampai ke Baitullah pada bulan Dzulqa’dah yang merupakan bulan haram sehingga beliau membuat perjanjian dengan mereka untuk masuk pada tahun berikutnya. Kemudian beliau bersama kaum muslimin masuk ke Baitullah pada tahun berikutnya dan Allah pun memberikan balasan terhadap kaum musyrikin.” (Diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Qatadah, Muqsim, Rabi’ bin Anas, Atha’, dan ulama lainnya)
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Jabir bin Abdullah, katanya:
لَمْ يَكُنْ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ إِلَّا أَنْ يُغْزى ويُغْزَوا فَإِذَا حَضَرَهُ أَقَامَ حَتَّى يَنْسَلِخَ
Artinya: “Rasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram (yang dihormati) kecuali bila diserang dan mereka menyerang. Jika bulan haram tiba maka beliau menghentikan peperangan sampai bulan haram berlalu.” (HR. Ahmad 3/345. Hadits ini bersanad sahih)
Oleh karena itu ketika sampai berita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pada waktu itu beliau sedang berada di perkemahan Hudaibiyah bahwa Utsman dibunuh, padahal Utsman beliau utus menemui orang-orang musyrik untuk suatu misi, maka beliau membaiat para sahabat yang berjumlah 1400 orang di bawah sebatang pohon untuk memerangi orang-orang musyrik. Setelah beliau menerima berita bahwa Utsman tidak terbunuh, maka beliau pun mengurungkan niatnya tersebut dan mengalihkan kepada perdamaian dan perjanjian sehingga terjadilah perjanjian Hudaibiyah.
Firman-Nya (فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم) di sini Allah Ta’ala memerintahkan berlaku adil, bahkan terhadap kaum musyrikin sekalipun. Sebagaimana Dia telah berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 126 yang artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan halasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” Firman-Nya (واتقوا الله واعلموا أن الله مع المتقين) di sini Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk senantiasa berbuat taat dan bertakwa kepada-Nya sekaligus memberitahukan bahwa Dia selalu bersama orang-orang yang bertakwa dengan senantiasa menolong dan mendukung mereka di dunia dan akhirat.(http://baitsyariah.blogspot.com/2019/01/surah-al-baqarah-ayat-194-tafsir-ibnu.html)