Terjemah Arti: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur(Referensi: https://tafsirweb.com/691-quran-surat-al-baqarah-ayat-185.html).Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 185 185. Bulan Ramadan adalah bulan dimulai proses turunnya Al-Qur`ān kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pada malam Qadar. Allah menurunkan Al-Qur`ān sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Qur`ān itu berisi pentuk yang jelasa dan pemisah yang membedakan antara perkara yang hak dan yang batil. Siapa saja yang menemui bulan Ramadan dalam keadaan mukim dan sehat, hendaklah dia menjalankan puasa secara wajib. Siapa yang sakit sehingga tidak mampu berpuasa atau bepergian jauh, dia boleh berbuka. Dan jika dia berbuka, dia wajib mengganti puasa sebanyak hari-hari dia berbuka. Dengan syariat yang ditetapkan itu, Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan. Juga supaya kalian menyempurnakan bilangan puasa selama sebulan penuh. Dan supaya kalian mengagungkan nama Allah di penutup bulan Ramadan dan hari raya (Idul Fitri) karena Dia telah membimbing kalian untuk menjalankan ibadah puasa dan membantu kalian menyempurnakannya hingga sebulan penuh. Serta supaya kalian bersyukur kepada Allah atas petunjuk-Nya untuk memeluk agama yang Dia ridai untuk kalian ini.Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 185. Allah menyebutkan keutamaan bulan puasa, yaitu bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia menuju kebenaran, di dalamnya terdapat bukti-bukti yang sangat jelas tentang petunjuk Allah dan penjelasan tentang perbedaan kebatilan dan kebenaran. Maka barangsiapa yang berada dalam bulan tersebut ketika ia tidak sakit atau bepergian jauh maka wajib baginya untuk berpuasa di siang harinya. Namun bagi orang yang sakit atau bepergian jauh sehingga berat baginya berpuasa, maka boleh baginya tidak berpuasa, kemudian mengganti puasa itu di hari yang lain sesuai dengan jumlah hari yang ia tidak berpuasa. Dengan keringanan ini Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesusahan. Maka hendaklah kalian menyempurnakan puasa sebulan penuh, dan mengakhiri bulan puasa dengan zikir dan takbir pada hari raya idul fitri sebagaimana Allah ajarkan kepada kalian, sehingga kalian bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya dengan perkataan dan perbuatan. Ibnu Umar berkata, ketika Rasulullah menyebutkan Ramadhan beliau bersabda: “Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berhari raya sampai melihat hilal pula. Dan jika pandangan kalian terhalang awan maka perhatikanlah perhitungan bulan.” (Shahih Bukhari, Shaum, Bab 11, No. 1906. Shahih Muslim, Puasa, No. 760).Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Bulan ramadan adalah bulan yang di dalamnya untuk pertama kali diturunkan Al-Qur'an pada lailatul qadar, yaitu malam kemuliaan, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang salah. Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada, yakni hidup, di bulan itu dalam keadaan sudah akil balig, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang sakit di antara kamu atau dalam perjalanan lalu memilih untuk tidak berpuasa, maka ia wajib menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dengan membolehkan berbuka, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dengan tetap mewajibkan puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dengan berpuasa satu bulan penuh dan mengakhiri puasa dengan bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur atasnya. Dan apabila hamba-hamba-ku bertanya kepadamu, nabi Muhammad, tentang aku karena rasa ingin tahu tentang segala sesuatu di sekitar kehidupannya, termasuk rasa ingin tahu tentang tuhan, maka jawablah bahwa sesungguhnya aku sangat dekat dengan manusia. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa dengan ikhlas apabila dia berdoa kepadaku dengan tidak menyekutukan-ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-ku yang ditetapkan di dalam Al-Qur'an dan diperinci oleh rasulullah, dan beriman kepada-ku dengan kukuh agar mereka memperoleh kebenaran atau bimbingan dari Allah. Tafsir Ringkas Kementrian Agama RI Allah ta’ala memberi keutamaan untuk bulan Romadhon diatas bulan-bulan yang lain dengan memilihnya sebagai bulan diturunkaannya Al-quran. Dia memberikan keistimawaan ini pada bulan Ramadhan sebagaiman telah dinyatak dalam hadits yang menerangkan bahwa bulan Romadhon adalah bulan diturunkannya kitab-kitab ilahiyah kepada para Nabi. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Wassilah bin Al-Asqa’,bahwa Rosululloh sholullohu ‘alaihi wasallam bersabda : أنزلت صحف إبراهيم في أول ليلة من رمضان . وأنزلت التوراة لست مضين من رمضان ، والإنجيل لثلاث عشرة خلت من رمضان ، وأنزل الله القرآن لأربع وعشرين خلت من رمضان “shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malampertama bulan Ramadhan, taurot diturunkan pada tanggal 6 Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal 13 ramadhan, dan Alquran diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan”. (HR. Ahmad) Shuhuf Ibrahim, kitab Taurot, Zabur, Injil diturunkan kepada nabi penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan Alquran diturunkan secara sekaligus dari lauhil mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia , dan hal itu terjadi pada bulan Ramadhan pada malam lailatul Qodar. Sebagaiman firman-Nya : إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemulian” (QS. Al-Qodar :1) Setelah itu, Alquran diturunkan secara bertahap kepada Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam, ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa yang terjadi kepadanya dan sebagai jawaban atas tantangan orang kafir. Demikian riwayat Ibnu Abbas yang senada denga firman-Nya : وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآَنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqon : 32 – 33) Kemudian Allah Ta’ala memuji kembali Al-Quran berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai petunjuk bagi manusia, sebagaimana firman-Nya : هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” Maksudnya, Alquran berfungsi sebagai petunjuk bagi hamba-Nya yang beriman dan mentaati-Nya, dan juga sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang-orang yang memahaminya dan memperhatikannya. Hal ini menunjukan kebenaran ajaran yang dibawanya,berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan,serta pembeda antara yang hak dan yang batil,yang halal dan yang haram. Dan firman-Nya : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “Barangsiapa di antaramu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa” Ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi orang yang menyaksikan permulaan bulan Romadhon, artinya bermukim ditempat tinggalnya dan tidak sedang melakukan perjalan jauh ketika masuk bulan Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam kondisi sehat fisik, maka ia harus melakasanakan ibadah puasa. Ayat ini menasakh dibolehkannya orang yang sehat yang berada ditempat tinggalnya untuk tidak harus berpuasa tetapi boleh menggantinya dengan membayar fidyah berupa pemberian makanan kepada orang miskin untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Kemudian Allah kembali memberikan rukhsoh bagi orang yang sakit hingga merasa berat dan terganggu jika berpuasa dan orang yang berada di perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat mengqodonya. Sebagaimana firman-Nya : وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” Halini tiada lain adalah kasih saying Allah bagi hamba-Nya, Dia tidak menghendaki kesulitan baginya melainkan kemudahan-kemudahan sebagaimana firman-Nya : يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”. Dalam Masalah hukum berpuasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama : Pertama; Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa barangsiapa yang keadaannya muqim di awal bulan, lalu kemudian dia safar ditengah bulan, maka tidak ada ‘udzur baginya untuk iftor karena dafar itu. Berdasarkan firman-Nya : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “Barangsiapa diantaramu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa” Karena sesungguhnya kebolehan iftor hanya bagi musafir yang telah melkukan perjalanan dari awalbulan. Ini merupakan pendapat yang asing yang dinuqil oleh Abu Muhammad Bin Hazm dalamkitabnya Al-Muhalla. Padahal telah ditegaskan dalam sunnah yang menijelaskan bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada bulan Romadhan untuk berperang pembebasan kota Mekah. Beliau berjalan hingga sampai al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyurh orang-orang untuk berbuka. Hadits ini diriwayatkan Bukhori dan Muslim dalam kitabnya. Kedua; Sebagia para sahabat dan tabi’in berpendapat wajibnya iftor bagi orang yang sedang safar,berdasarkan firman-Nya : “maka gantilah di hari-hari yang lain”. Dan yang shohih adalah pendapatnya Jumhur para ulama yang mengatakan bahwa berpuasa dan berbuka pada saat safara dalah sebuah pilihan dan bukan keharusan. Hal ini berdasarkan apa yang terjadi pada Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dan paras ahabatnya pada suatu perjalanan dan diatara mereka ada yang berpuasa dan ada juga yang berbuka. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Abu Darda berikut ini : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في شهر رمضان في حر شديد ، حتى إن كان أحدنا ليضع يده على رأسه من شدة الحر وما فينا صائم إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم وعبد الله بن رواحة “Kami pernah bepergian bersama Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan ketika musim panas sekali,sampai salah seorang diantara kami meletakan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat. Tidak ada yang berpuasa diantara kami kecuali Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dan Abdulloh bin Abi Rawahah”. Ketiga: Segolongan ulama syafi’I berpendapat bahwa puasa ketika dalam perjalanan adalah lebih utama daripada berbuka. Hal ini berdasarkan pada apa yang pernah dikerjakan oleh rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana disebutkan hadits di atas. Sedangkan sekelompok yang lain berpendapat bahwa berbuka lebih utama daripada berpuasa, sebagai bentuk realisasi dari rukhsoh yang Allah berikan. Berdasarkan hadits Nabi : عليكم برخصة الله التي رخص لكم “Hendaklah kalian mengambil keringan Allah yang Allah berikan untuk kalian” sekelompok ulama berpendapat bahwa antara saum dan berbuka sama saja. Berdasarkan sabda Nabi : إن شئت فصم ، وإن شئت فأفطر “Jika kamu mau berpuasa, maka berpuasalah. Dan jika kamu mau berbuka, maka berbukalah” Sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa jika sedang safar dan berpuasa membuat dirinya berat, maka dia harus berbuka. Berdasarkan sabda Nabi : ليس من البر الصيام في السفر “Bukanlah suatu kebaikan seseorang yang berpuasa disaat sedang safar (jika memberatkan)” Keempat : masalah Qodo, apakah harus berturut-turut dalam mengqodo saumnya atau boleh tidak berturut-turut?. Pendapat JUmhur para ulama dalam mengqodo puasa boleh dilakukan secara berturut-turut dan juga boleh tidak. Selanjutnya firman-Nya : وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu” Maksudnya, perintah mengqodo puasa adalah bertujuan supaya menyempurnakan jumlah hari berpuasa menjadi satu bulan. Lalu kemudia diperintah untuk bertakbir setelah mengerjakan satu ibadah, termasuk setelah ibadah puasa. Oleh karenanya sebagian ulama menjadikan potongan ayat ini sebagai dalil disyariatkannya bertakbir pada hari raya ‘idul fitri. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya : وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Supaya kamu bersyukur” Artinya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah ta’ala, berupa ketaatan kepada-Nya,dengan menjalankan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentua-Nya, maka mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.(*Sumber:Referensi: https://tafsirweb.com/691-quran-surat-al-baqarah-ayat-185.html).
TAFSIR AL MISHBAH,QURAISH SHIHAB
*Waktu yang ditetapkan Allah sebagai hari wajib puasa itu adalah bulan Ramadan yang sangat tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah. Di bulan itu Allah menurunkan al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi semua manusia menuju jalan kebenaran melalui keterangan-keterangan yang jelas sebagai pengantar menuju kebajikan dan pembatas antara yang benar (haqq) dan yang palsu (bâthil) selamanya, sepanjang masa dan usia manusia. Maka barangsiapa yang hadir menyaksikan bulan ini dalam keadaan sehat dan tidak sedang dalam perjalanan, maka ia wajib berpuasa. Tapi barangsiapa yang sakit, dan puasa akan membahayakan dirinya, atau sedang dalam perjalanan, ia diperbolehkan tidak berpuasa tapi tetap diwajibkan mengganti puasa yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah tidak ingin memberati hamba- Nya dengan perintah-perintah, tapi justru Dia menghendaki keringanan bagi mereka. Allah telah menjelaskan dan memberi petunjuk tentang bulan suci itu agar kalian melengkapi jumlah hari puasa dan membesarkan nama Allah atas petunjuk dan taufik-Nya. (*https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-185#tafsir-quraish-shihab)
TAFSIR JALALAYN
*Hari-hari tersebut adalah (bulan Ramadan yang padanya diturunkan Alquran) yakni dari Lohmahfuz ke langit dunia di malam lailatulkadar (sebagai petunjuk) menjadi 'hal', artinya yang menunjukkan dari kesesatan (bagi manusia dan penjelasan-penjelasan) artinya keterangan-keterangan yang nyata (mengenai petunjuk itu) yang menuntun pada hukum-hukum yang hak (dan) sebagai (pemisah) yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil. (Maka barang siapa yang menyaksikan) artinya hadir (di antara kamu di bulan itu, hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain) sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya nasakh dengan diumumkannya 'menyaksikan bulan' (Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesempitan) sehingga oleh karenanya kamu diperbolehkan-Nya berbuka di waktu sakit dan ketika dalam perjalanan. Karena yang demikian itu merupakan `illat atau motif pula bagi perintah berpuasa, maka diathafkan padanya. (Dan hendaklah kamu cukupkan) ada yang membaca 'tukmiluu' dan ada pula 'tukammiluu' (bilangan) maksudnya bilangan puasa Ramadan (hendaklah kamu besarkan Allah) sewaktu menunaikannya (atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu) maksudnya petunjuk tentang pokok-pokok agamamu (dan supaya kamu bersyukur) kepada Allah Taala atas semua itu.(*https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-185#tafsir-jalalayn)
TAFSIR IBNU KATSIR
*Allah Ta’ala memuliakan bulan puasa di antara bulan-bulan lainnya dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Adhim. Dia memberikan keistimewaan ini pada Bulan Ramadhan sebagaimana telah dinyatakan dalam hadis bahwa Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab-kitab ilahiah diturunkan kepada para Nabi. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, meriwayatkan dari Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:"أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"Artinya: “Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadhan, dan al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad: 4/107)Shuhuf Ibrahim, Kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada Nabi penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi pada Bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Qadr ayat 1 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan.”Dia juga berfirman dalam Surah Ad-Dukhan ayat 3 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.” Setelah itu, Al-Quran diturunkan bagian demi bagian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas, melalui beberapa jalur.Firman-Nya (هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان) maksudnya ini merupakan pujian bagi Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Dan sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.Firman-Nya (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) maksudnya ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi orang yang menyaksikan permulaan Bulan Ramadhan, artinya bermukim di tempat tinggalnya (tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk Bulan Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam keadaan sehat fisik, maka ia harus berpuasa. Ayat ini menghapus dibolehkannya orang sehat yang berada di tempat tinggalnya untuk tidak berpuasa tetapi mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan fidyah berupa pemberian makan kepada orang miskin untuk setiap hari ia berbuka. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.Firman-Nya (ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر) dan tatkala menutup masalah puasa, Allah Ta’ala kembali menyebutkan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat harus menggantinya. Artinya juga, barangsiapa yang fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat atau terganggu jika berpuasa, atau sedang dalam perjalanan, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia harus menggantinya pada hari-hari yang lain sejumlah yang ditinggalkan.Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد يكم العسر) maksudnya, Dia memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka ketika dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, namun tetap mewajibkan puasa bagi orang yang berada di tempat tinggalnya dan sehat. Ini tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagi kalian.Di sini terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan ayat tersebut di atas: pertama, dalam sunnah telah ditegaskan bahwa:خرَجَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لِغَزْوَةِ الْفَتْحِ، فَسَارَ حَتَّى بَلَغَ الكَديد، ثُمَّ أَفْطَرَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِالْفِطْرِArtinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada Bulan Ramadhan untuk perang pembebasan Kota Makkah. Beliau berjalan hingga sampai di Al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang-orang untuk berbuka.” (HR. Al-Bukhari: 1948/4279 dan Muslim: 1113) Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan berbuka ketika dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman-nya dalam ayat ini. Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam puasa sebagian dari mereka. Bahkan ditegaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpuasa dalam keadaan seperti itu. Berdasarkan hadis dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’, katanya:خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [فِي شَهْرِ رَمَضَانَ] فِي حَرٍّ شَدِيدٍ، حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ [مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ] وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ Artinya: “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan ketika musim panas sekali, sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. AL-Bukhari 1945 dan Muslim: 1122) Ketiga, segolongan ulama di antaranya Imam Syafi’i berpendapat bahwa puasa ketika dalam perjalanan itu lebih utama daripada berbuka. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sebagaimana disebutkan pada hadis di atas. Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan itu utama, sebagai realisasi rukhsah, dan berdasarkan hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka beliau pun menjawab:"مَنْ أَفْطَرَ فحَسَن، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ"Artinya: “Barangsiapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan barangsiapa tetap berpuasa, maka tiada dosa baginya.” (HR. Muslim: 1121) Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كَثِيرُ الصِّيَامِ، أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ: "إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ"Artinya: “Ya, Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.” (Hadits Al-Bukhari 1943 dan Muslim 1121)
Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah lebih baik. Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa:أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ"Artinya: “Rasulullah pernah menjumpai seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya, “Mengapa dia ini?” Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda, “Bukan termasuk kebajikan berpuasa ketika dalam perjalanan.” (HR. Al-Bukhari 1946 dan Muslim 1121) Keempat, mengenai masalah mengganti puasa, apakah harus dilakukan secara berturut-turut atau boleh berselang-seling. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, mengganti puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’ mengekspresikan pelaksanaan. Kedua, tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling dan boleh juga secara berturut-turut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dan hal ini didasarkan pada banyak dalil, karena pelaksanaan puasa secara berturut-turut hanyalah diwajibkan dalam Bulan Ramadhan, karena pentingnya pelaksanaannya pada waktu itu.Firman-Nya (فعدة من أيام أخر) maksudnya ada pun setelah berakhirnya Ramadhan yang dituntut adalah qadha’ puasa pada hari-hari lain sejumlah yang ditinggalkan.Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر) Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari Syu’bah, dari Abu At-Tayyah, katanya, aku pemah mendengar Anas bin Malik berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:"يَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا"Artinya: “Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Tenangkanlah dan janganlah membuat (orang) lari.” (HR. Al-Bukhari 69 dan Muslim 1734) Diriwayatkan pula dalam kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertutur kepada Mu’adz dan Abu Musa ketika beliau mengutus keduanya ke Yaman:"بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا"Artinya: “Sampaikanlah berita gembira dan janganlah kalian menakut-nakuti, berikanlah kemudahan dan janganlah mempersulit, bersepakatlah dan janganlah kalian berselisih.” (HR. Al-Bukhari 4341/4342 dan Muslim 1733) Dan dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad juga diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:"بُعِثْتُ بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"Artinya: “Aku diutus dengan membawa agama tauhid yang ramah.”Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة) maksudnya, Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan, atau disebabkan alasan-alasan lainnya yang semisal, karena Dia menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan perintah untuk mengqadha puasa itu dimaksudkan untuk menggenapkan bilangan puasa kalian menjadi sebulan.Firman-Nya (لتكبروا الله على ما هداكم) maksudnya supaya kamu mengingat Allah Ta’ala sesuai ibadah kalian. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 200 yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadab hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana yang menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.” Oleh karena itu, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk bertasbih, bertahmid dan takbir setelah mengerjakan shalat wajib. Ibnu Abbas mengatakan: “Kami tidak mengetahui berakhimya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan takbir.”Firman-Nya (ولتكملوا العدة لتكبروا الله على ما هداكم) banyak ulama yang mengambil pensyariatan takbir pada Hari Idul Fitri dari ayat ini. Bahkan Daud bin Ali Al-Asbahani Az-Zhahiri mewajibkan pengumandangan takbir pada Hari Idul Fitri, berdasarkan pada perintah dalam firman-Nya ini. Sebaliknya, madzhab Abu Hanifah rahimahullahu menyatakan bahwa takbir tidak disyariatkan pada Hari Idul Fitri. Sementara ulama lainnya menyatakan sunnah, dengan beberapa-perbedaan dalam rincian sebagian furu’ di antara mereka.Firman-Nya (ولعلكم تشكرون) maksudnya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala, berupa ketaatan kepada-Nya, dengan menjalankan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.((*https://baitsyariah.blogspot.com/2019/01/surah-al-baqarah-ayat-185-tafsir-ibnu.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar