ٱلْحَجُّ
أَشْهُرٌ
مَّعْلُومَٰتٌ
ۚ
فَمَن
فَرَضَ
فِيهِنَّ
ٱلْحَجَّ
فَلَا
رَفَثَ
وَلَا
فُسُوقَ
وَلَا
جِدَالَ
فِى
ٱلْحَجِّ
ۗ
وَمَا
تَفْعَلُوا۟
مِنْ
خَيْرٍ
يَعْلَمْهُ
ٱللَّهُ
ۗ
وَتَزَوَّدُوا۟
فَإِنَّ
خَيْرَ
ٱلزَّادِ
ٱلتَّقْوَىٰ
ۚ
وَٱتَّقُونِ
يَٰٓأُو۟لِى
ٱلْأَلْبَٰبِ
Terjemah Arti: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 197 197. Waktu pelaksanaan ibadah haji ialah bulan-bulan yang dimaklumi, mulai dengan bulan Syawal dan berakhir pada sepuluh hari (pertama) di bulan Zulhijah. Siapa yang mewajibkan dirinya melaksanakan ibadah haji pada bulan-bulan tersebut dan melaksanakan ihram haji, maka ia dilarang bersetubuh dan melakukan hal-hal yang merupakan pengantar bersetubuh. Dia juga dilarang keras keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan perbuatan maksiat, demi menghormati keagungan waktu dan tempat tersebut. Dan ia juga dilarang melakukan perdebatan yang menjurus kepada kemarahan dan perseteruan. Perbuatan baik apapun yang kalian lakukan pasti diketahui oleh Allah untuk dibalasnya. Laksanakanlah ibadah haji seraya melengkapi diri dengan bekal makanan dan minuman yang kalian butuhkan. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik bekal dan dapat memperlancar semua urusanmu ialah ketakwaan kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada-Ku dengan cara menjalankan perintah-perintah-Ku dan menjauhi larangan-larangan-Ku, wahai orang-orang yang berakal sehat. Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 197. Waktu pelaksanaan haji meliputi beberapa bulan yang telah diketahui, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Barangsiapa yang menjalankan haji dan mulai berihram, maka haram baginya berjima’ dan melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskannya kepada jima’, diharamkan pula perbuatan maksiat dan perdebatan yang menjerumuskan pada perselisihan. Dan perbuatan baik yang kalian kerjakan saat ibadah haji diketahui oleh Allah dan Dia akan membalasnya. Berbekallah untuk menjalankan haji dengan makanan dan kebutuhan lainnya, dan berbekallah untuk kehidupan akhirat dengan amal shalih, dan sebaik-baik bekal yang kalian bawa adalah ketakwaan. Dan takutlah kalian dari azab-Ku hai orang-orang yang memiliki akal yang sehat. Ibnu Abbas berkata: “…..Bulan-bulan untuk pelaksanaan haji yang Allah sebutkan yakni bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Maka barangsiapa yang menjalankan haji tamattu’ maka wajib baginya membayar dam -menyembelih hewan sembelihan- atau berpuasa.” (Shahih Bukhari, Haji, Bab 37, no. 1572). Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi, yakni syawal, zulkaidah, dan zulhijjah. Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaÅ¡), yaitu perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seksual; jangan pula berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji meskipun bukan pertengkaran dahsyat. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya, karena Allah mengetahui yang tersembunyi. Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, semua yang terjadi di langit dan di bumi berada dalam pantauan-Nya. Bawalah bekal untuk memenuhi kebutuhan fisik, yakni kebutuhan konsumsi, akomodasi, dan transportasi selama di tanah suci; termasuk juga bekal iman dan takwa untuk kebutuhan ruhani, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, yakni mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah. Dan bertakwalah kepada-ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, supaya kamu menjadi manusia utuh lahir batin. Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari tuhanmu beru-pa rezeki yang halal melalui berdagang, menawarkan jasa, dan menyewakan barang. Di antara kaum muslim ada yang merasa berdosa untuk berdagang dan mencari rezeki yang halal pada musim haji, padahal Allah membolehkannya dengan cara-cara yang diatur dalam Al-Qur'an. Maka apabila kamu bertolak dari arafah setelah wukuf, sejak matahari terbenam pada tanggal 9 zulhijah dan sudah sampai di muzdalifah, maka berzikirlah kepada Allah di masy'arilharam, yakni di muzdalifah, dengan tahlil, talbiah, takbir, dan tahmid. Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana dia telah memberi petunjuk kepadamu mengikuti agama yang benar, keyakinan yang kukuh, ibadah yang istikamah, dan akhlak yang mulia, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu. Zikir itu merupakan rasa syukur atas nikmat Allah yang telah membimbing para jamaah haji menjadi orang-orang beriman.( https://tafsirweb.com/719-quran-surat-al-baqarah-ayat-197.html)
TAFSIR QURAISH SHIHAB
Ibadah haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu yang sudah kalian
ketahui sejak masa Nabi Ibrâhîm a. s. Bulan-bulan tesebut adalah Syawal,
Zulkaidah dan Zulhijah. Maka barangsiapa yang berniat haji dan telah masuk
di bulan-bulan itu, ia harus memelihara etika haji. Etika haji itu, di
antaranya, adalah bahwa seseorang yang berihram dilarang menggauli istri;
menjauhi kemaksiatan seperti mencaci, berdebat, bertengkar dan sebagainya;
dan menghindari hal-hal yang akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan.
Dengan demikian, diharapkan seorang yang berihram haji itu jiwanya menjadi
bersih. Berusahalah melakukan kebajikan seraya memohon ganjaran Allah
melalui tindakan-tindakan amal saleh. Sesungguhnya Allah mengetahui yang
demikian itu dan Dia akan memberikan balasan-Nya. Berbekallah untuk
akhiratmu dengan bertakwa dan menjalankan segala perintah Allah serta
menjauhi larangan-Nya. Itulah bekal yang terbaik untuk kalian. Dan takutlah
kepada Allah atas apa yang kalian lakukan dan tinggalkan sesuai tuntutan
akal dan kebajikan. Maka janganlah kalian nodai perbuatan-perbuatan kamu
sekalian dengan hawa nafsu dan tujuan-tujuan duniawi.
(https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-197#tafsir-quraish-shihab)
TAFSIR JALALAYN (Haji), maksudnya adalah waktu dan musimnya (beberapa bulan
yang dimaklumi), yaitu Syawal, Zulkaidah dan 10 hari pertama bulan Zulhijah.
Tetapi ada pula yang mengatakan seluruh bulan Zulhijah. (Maka barang siapa
yang telah menetapkan niatnya) dalam dirinya (akan melakukan ibadah haji
pada bulan-bulan itu) dengan mengihramkannya, (maka tidak boleh ia
mencampuri istrinya), yakni bersetubuh (dan jangan berbuat kefasikan)
berbuat maksiat (dan jangan berbantah-bantahan) atau terlibat dalam
percekcokan (sewaktu mengerjakan haji). Menurut satu qiraat, dengan baris di
atas dua hal yang pertama dan makna yang dimaksud adalah larangan
mengerjakan tiga hal itu. (Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan)
sedekah (pastilah diketahui oleh Allah) yang akan membalas kebaikan itu.
Ayat berikut ini diturunkan kepada penduduk Yaman yang pergi naik haji tanpa
membawa bekal, sehingga mereka menjadi beban orang lain. (Dan berbekallah
kamu) yang akan menyampaikan kamu ke tujuan perjalananmu (dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa), artinya yang dipergunakan manusia untuk
menjaga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan sebagainya.
(Dan bertakwalah kamu kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal)(
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-197#tafsir-jalalayn)
TAFSIR IBNU KATSIR.
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Orang-orang Yaman apabila naik haji tidak
membawa bekal apa-apa, dengan alasan tawakal kepada Allah Ta’ala.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan selainnya, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Firman-Nya (الحج
أشهر
معلومات) ahli Bahasa Arab berbeda pendapat mengenai firman Allah Ta’ala ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maksudnya, “Haji itu adalah pada bulan-bulan yang dimaklumi.”
Dengan demikian, ihram pada waktu haji di bulan-bulan itu lebih sempurna
dari ihram di luar bulan-bulan tersebut, meskipun ihram itu sah. Pendapat
yang mensahkan ihram di sepanjang tahun adalah mazhab Imam Malik, Abu
Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishak bin Rahawaih. Pendapat itu pula yang
dikemukakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad. Mereka
berhujjah dengan firman Allah Ta’ala pada ayat sebelumnya yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji.” Ibadah haji
merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan
ihram untuk haji kapan saja sepanjang tahun. Sama halnya dengan ibadah
umrah.Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwasanya ihram
untuk haji tidak sah kecuali pada bulan-bulan haji. Jika seseorang berihram
haji sebelum bulan itu, maka ihramnya itu tidak sah. Dan apakah hal itu
menjadi umrah? Mengenai hal ini terdapat dua pendapat yang diriwayatkan dari
beliau. Pendapat yang menyatakan bahwa ihram untuk haji itu tidak sah
kecuali bulan-bulan yang telah ditentukan, diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
jabir. Demikian pula pendapat Atha’, Thawus, dan Mujahid. Sedang dalil
menjadi landasannya adalah firman Allah Ta’ala dalam ayat ini. Lahiriyah
ayat ini mengandung pengertian lain yang juga merupakan pendapat para ahli
nahwu, yaitu bahwa waktu haji adalah bulan-bulan yang telah ditentukan.
Dengan demikian, Allah Ta’ala telah mengkhususkan haji pada bulan-bulan itu
di antara bulan-bulan yang ada. Ini menunjukkan bahwasanya ihram untuk haji
itu tidak sah jika dilakukan sebelum bulan-bulan itu, sebagaimana halnya
dengan waktu Salat.Imam Syafi’i rahimahullahu meriwayatkan, dari Ibnu Abbas,
katanya, “Tidak seyogianya seseorang berihram untuk haji kecuali pada
bulan-bulan haji, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “(Musim) haji
adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” Tentang firman-Nya tersebut
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya; “Yaitu bulan Syawwal,
Dzulqa’dah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah.” Hadis mu’allaq yang
disebutkan Al-Bukhari dengan bentuk pasti, diriwayatkan Ibnu Jarir sebagai
hadis maushul, dari Ibnu Umar, dengan sanad sahih. Juga diriwayatkan
Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, dari Ibnu Umar, dan ia mengatakan bahwa
hadis ini memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir katakan, “Hadis ini
diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Zubair, dan Ibnu
Abbas. Dan itulah mazhab Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Abu
Yusuf, dan Abu Tsaur rahimahullahu.” Dan pendapat ini menjadi pilihan Ibnu
Jarir, katanya, “Boleh saja jumlah dua bulan dan sebagian hari dari bulan
ketiga diungkapkan dalam bentuk jamak untuk menetapkan yang umum,
sebagaimana halnya masyarakat Arab mengatakan, “Saya melihatnya tahun
ini.” Padahal yang dimaksudkan adalah sebagian dari tahun saja. Imam Malik
bin Anas dan Imam Syafi’i menurut pendapat lama (qaulul qadim) mengatakan,
“Bulan-bulan itu adalah Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzullujjah secara penuh.”
Yang demikian itu juga merupakan riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Jarir
meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Yaitu Syawwal, Dzulqa’dah,
Dzulhijjah.” Dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus bin
Abdul A’la, dari Ibnu Wahab dari Ibnu Juraij, ia menceritakan, pernah
kutanyakan kepada Nafi’, “Apakah engkau pernah mendengar Abdullah bin Umar
menyebut bulan-bulan haji?” Ia menjawab, “Ya, Abdullah bin Umar
menyebutnya Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.” Ibnu Juraij mengatakan:
“Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syihab, Atha’, Jabr bin Abdullah
seorang sahabat Nabi. Sanad ini sahih sampai kepada Ibnu Juraij. Menurut
mazhab Imam Malik, waktu haji itu sampai akhir bulan Dzulhijjah, berarti
waktu itu dikhususkan untuk menunaikan ibadah haji sehingga tidak
diperbolehkan mengerjakan umrah pada sisa hari bulan Dzulhijjah, bukan
berarti haji itu sah dilakukan setelah malam hari Idul Adha.Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan, dari Thariq bin Syihab, ia menuturkan, Abdullah bin Umar
mengatakan, “Musim haji itu adalah bulan-bulan yang telah ditentukan, yang
di dalamnya tidak boleh mengerjakan umrah.” Sanad ini adalah sahih. Ibnu
Jarir mengatakan, orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu
Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah menghendaki bahwa bulan-bulan itu bukan
bulan-bulan umrah, melainkan hanya untuk haji saja, meskipun amalan haji
telah selesai dengan berakhirnya hari-hari di Mina. Sebagaimana dikatakan
Muhammad bin Sirin, “Tidak ada seorang ulama pun meragukan bahwa umrah di
luar bulan-bulan haji itu lebih baik daripada umrah pada bulan-bulan
haji.” Ibnu Aun juga menceritakan, aku pernah bertanya kepada Qasim bin
Muhammad mengenai umrah pada bulan-bulan haji, maka ia pun menjawab,
“Mereka berpendapat bahwa hal itu kurang sempurna.” Sehubungan dengan hal
itu Ibnu Katsir mengatakan: “Telah diriwayatkan dari Umar dan Utsman
radhiallahu ‘anhuma, bahwa keduanya lebih suka mengerjakan umrah di luar
bulan-bulan haji, dan melarang mengerjakannya pada bulan-bulan haji.
Firman-Nya (فمن
فرض
فيهن
الحج) maksudnya memastikan ihramnya untuk haji. Hal itu menunjukkan keharusan
berihram untuk haji. Ibnu Jarir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan fardhu di sini adalah
keharusan dan kepastian.”
Mengenai ayat ini, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
mengatakan, “Barangsiapa mengerjakan ihram untuk haji atau umrah.” Sedangkan
Atha’ mengemukakan, “Yang dimaksud dengan fardhu itu adalah ihram.” Hal
senada juga dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Adh-Dhahhak, dan ulama
lainnya. Masih mengenai ayat tersebut di atas, Ibnu Juraij meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, “Tidak selayaknya seseorang
bertalbiah untuk haji dan setelah itu ia tetap tinggal di negeri (luar Tanah
Haram).” Menurut Ibnu Abi Hatim, hal ini diriwayatkan pula dari Ibnu Masud,
Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair. Thawus dan Qasim bin Muhammad mengatakan, “Yang
dimaksud adalah talbiyah.”
Firman-Nya (فلا
رفث) maksudnya, barangsiapa yang berihram untuk haji atau umrah, maka
hendaklah ia menghindari rafats, yaitu hubungan badan. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala (أحل
لكم
ليلة
الصيام
الرفث
إلى
نسائكم) artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istrimu.”
Diharamkan pula melakukan hal-hal yang mengantarakan pada rafats, misalnya
pelukan, ciuman, dan semisalnya. Demikian juga membicarakannya di hadapan
para wanita. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus bahwa Abdullah bin Umar
pernah mengatakan, “Ar-Rafats berarti mencampuri istri dan membicarakan hal
itu dengan orang laki-laki maupun perempuan, jika yang demikian itu
diucapkan dengan lisan mereka.” Atha’ bin Abi Rabah mengatakan: “Ar-rafats
berarti jima’ (senggama) dan selain itu, misalnya ucapan kotor.” Lebih
lanjut Atha’ menuturkan, “Mereka memakruhkan kata sindiran yang kotor ketika
sedang berihram.” Dan Thawus mengatakan: “Yang dimaksud ar-rafats adalah
seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, jika aku telah bertahallul,
aku akan mencampurimu.” Dan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, “Ar-rafats berarti mencampuri istri, mencium, atau kedipan mata,
serta mengucapkan kata-kata kotor kepadanya.”
Firman-Nya (فلا
فسوق) Muqsim dan beberapa ulama lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Yaitu segala perbuatan maksiat.”
Sedangkan ulama lainnya menuturkan: “Yang dimaksud al-fusuq di sini adalah
caci maki.” Demikian dikatakan Ibnu Abbas dan Umar. Mereka ini berpegang
pada apa yang ditegaskan dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
"سِبَابُ الْمُسْلِمِ
فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ"
Artinya: “Mencaci maki orang muslim itu merupakan suatu kefasikan dan
memeranginya merupakan kekafiran.” (HR. Al-Bukhari 6044 dan Muslim 63)
Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan, “Al-fusuq berarti memberi gelar buruk.”
Yang benar adalah mereka yang mengartikan Al-fusuq di sini segala bentuk
kemaksiatan, sebagaimana Allah Ta’ala melarang kezaliman pada bulan-bulan
haji, meskipun kezaliman itu sendiri sebenarnya dilarang sepanjang tahun,
hanya saja pada bulan-bulan haji hal itu lebih ditekankan lagi. Oleh karena
itu Allah Ta’ala berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 36 yang artinya: “Di
antara empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah
kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu.” Dia juga berfirman
tentang tanah haram dalam Surah Al-Hajj yang artinya: “Barangsiapa yang
bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami
rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.”
Dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hazim, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ
فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ
أُمُّهُ"
Artinya: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ke rumah ini (Baitullah),
lalu ia tidak melakukan rafats, dan tidak pula berbuat kefasikan, maka ia
akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”
(HR. Al-Bukhari 1521 dan Muslim 1350)
Firman-Nya (ولا
جدال
في
الحج) mengenai firman-Nya ini terdapat dua pendapat: Pendapat pertama, tidak
boleh berbantah-bantahan pada waktu haji dalam mengerjakan manasik. Dan
Allah Ta’ala telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempuma.
Sebagaimana Waqi’ menceritakan, dari Al-‘Ala’ bin Abdul Karim, aku pemah
mendengar Mujahid membaca lafaz ini seraya mengatakan, Allah Ta’ala telah
menjelaskan bulan-bulan haji yang di dalamnya tidak terdapat perkara yang
perlu diperdebatkan di kalangan umat manusia. Masih mengenai firman-Nya ini,
Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Yang dimaksudkan adalah
bertengkar dalam haji.” Sedangkan Abdullah bin Wahab meriwayatkan dari Imam
Malik maksudnya, bahwa orang-orang Quraisy pada waktu haji berwukuf di
Masy’arilharam di Muzdalifah, sedang orang-orang Arab dan juga yang lainnya
berwukuf di Arafah, mereka saling berbantah-bantahan. Satu kelompok
menyatakan, “Kami yang lebih benar.” Dan kelompok lainnya mengaku: “Kamilah
yang lebih benar.” Demikian itulah pendapat kami. Inti dari
pendapat-pendapat tersebut yang menjadi pilihan Ibnu Jarir, yaitu
menghentikan perselisihan dalam manasik haji.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan berbantah-bantahan di sini adalah
perselisihan. Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud, mengenai
firman Allah Ta’ala ini adalah jika engkau mencaci sahabatmu hingga
membuatnya marah.” Demikian pula yang diriwayatkan Muqsim dan Adh-Dhahhak
dari Ibnu Abbas. Dalam musnadnya, Imam Abd bin Humaid meriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah, katanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa menuntaskan manasiknya dan kaum muslimin selamat dari
lidah dan tangannya, maka ia akan diberikan ampunan atas dosa-dosa yang
telah lalu.” (HR. Imam Abd bin Humaid dalam Kitab Al-Muntakhab 1148)
Firman-Nya (وما
تفعلوا
من
خير
يعلمه
الله) maksudnya setelah Allah Ta’ala melarang mereka melakukan hal-hal yang buruk, baik melalui lisan maupun
perbuatan, Dia memerintah mereka berbuat kebaikan seraya memberitahukan
bahwa Dia mengetahuinya dan akan memberikan pahala sebanyak-banyaknya itas
semua itu pada hari kiamat kelak.
Firman-Nya (وتزودوا
فإن
خير
الزاد
التقوى) menurut Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ada beberapa orang yang pergi meninggalkan keluarga mereka dengan tidak
membawa perbekalan seraya berucap: “Kami akan menunaikan haji ke Baitullah, apakah mungkin Allah Ta’ala tidak
memberi makan kami?”‘ Maka Allah Ta’ala pun berfirman (yang maknanya),
“Berbekallah kalian, dengan sesuatu yang dapat menjaga kehormatan wajah
kalian dari manusia.” Sedangkan hadis Warqa’ diriwayatkan Al-Bukhari dari
Yahya bin Bisyr, dari Syababah, juga diriwayatkan Abu Dawud, dari Ibnu
Abbas, katanya, “Ketika itu penduduk Yaman menunaikan ibadah haji, tetapi
mereka tidak membawa bekal, dan mereka berujar, ‘Kami adalah orang-orang
yang bertawakal.’ Maka Allah menurunkan lafaz-Nya ini. Hadis di atas
diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Sahihnya, dari Syababah.
Firman-Nya (فإن
خير
الزاد
التقوى) maksudnya setelah Allah Ta’ala menyuruh mereka membekali diri dalam melakukan perjalanan di dunia, Dia
membimbing mereka untuk membekali diri menuju akhirat, yaitu bekal takwa.
Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-A’raaf ayat 26 yang artinya: “Dan
pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”
Setelah Allah Ta’ala menyebutkan pakaian yang bersifat material, ia
membimbing mereka kepada pakaian yang bersifat immaterial, yaitu
kekhusyu’an, ketaatan, dan ketakwaan. Kemudian Dia menyebutkan bahwa pakaian
terakhir ini lebih baik dan bermanfaat daripada pakaian yang pertama.
Mengenai firman-Nya ini, Atha Al-Khurasani mengatakan: “Yaitu bekal
akhirat.” Firman-Nya (واتقون
يأولي
الألباب) maksudnya takutlah akan hukuman siksa dan azab-Ku bagi orang-orang yang
menentang-Ku, dan tidak mau menjalankan perintah-Ku, hai orang-orang yang
berakal dan dapat memahami.
(http://baitsyariah.blogspot.com/2019/02/surah-al-baqarah-ayat-197-tafsir-ibnu.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar